Ilustrasi |
*Disadur dari tulisan Revisiting “Meaning and Experience of Happiness in Islām Oleh: Wan Ahmad Fayhsal.
Pada 18 Februari
2012, Majelis Intelektual Muslim (HAKIM) mengirim enam anggota mereka untuk menghadiri
kuliah umum yang diselenggarakan oleh Dar al-Andalus, Lingkaran Studi Suffah di
Singapura, dalam kuliah umum berjudul "Arti dan Pengalaman Kebahagiaan
dalam Islām." Disampaikan oleh seorang sarjana yang berbasis di Malaysia,
yang terhormat Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Kuliah ini
dibatasi pada dua pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan topik arti
kebahagiaan dalam Islam. Ia sebelumnya secara brilian menulisnya dalam bentuk
monograf dan dimasukkan sebagai bab kedua dalam magnum opusnya -Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Sebelum kuliah dimulai, Ia
menyebutkan bahwa topik ini tidak dapat diuraikan secara singkat dalam dua jam karena diperlukan
pembelajaran satu semester penuh di
ISTAC sebelum memasuki kajian tentang
hal ini secara rinci dan panjang lebar. Namun kuliah ini dimaksudkan untuk menyentuh hal-hal mendasar yang
berkaitan dengan topik.
Pertanyaan
pertama adalah, apakah perlu bagi muslim untuk memahami konsep Barat tentang
tragedi sebelum kita bisa memahami arti kebahagiaan dalam Islam.
Prof. Al-Attas
menekankan bahwa meskipun tidak perlu untuk memahami konsep tragedi yang
berkembang di karya-karya besar filsuf Barat
sejak Iliad karya Homer, Poetics-nya Aristoteles. Namun sangat penting bagi umat
Islam saat ini untuk memahami kebalikan dari saʿadah, yang disebut dalam
AlQurʾan dengan shaqawāh. Jika
diterjemahkan dalam bahasa Inggris kurang lebih setara dengan 'kemalangan
besar', 'penderitaan', 'keadaan serba kekurangan', 'kesusahan', 'kegelisahan',
'putus asa', 'kesulitan', 'penderitaan'.
Seperti yang
dijelaskan oleh Prof Al-Attas, konsep shaqawāh adalah genera (penggolongan) untuk
semua konsep lain yang bertindak sebagai pembeda (al-fusul, fasl) atas
konsep seperti: khawf – takut
terhadap sesuatu: dari yang tidak diketahui, dari kesunyian total dan yang tidak dapat
diceritakan, bayangan tentang kematian dan apa yang ada setelahnya, firasat
ketakutan dan kecemasan.
ḥuzn - kesedihan, duka,
sedih, kerasnya jiwa
Dank - kesempitan, terhambat,
kesengsaraan dalam jiwa dan pikiran yang
menyebabkan ketidakmampuan dalam memahami sesuatu, yang menyebabkan keraguan dalam hati.
Hasrat - kesedihan
mendalam dan penyesalan atas sesuatu yang hilang dan tidak pernah dialami kesedihan
sangat tajam dan penyesalan dari orang yang berpaling dari Allah dan menghabiskan
hidupnya di diri limbah ketika menemukan setelah kematian bagaimana ia telah
kehilangan jiwanya dan menyesali dengan pahit ketidakmungkinan kembali ke
kehidupan duniawi untuk menebus kesalahan.
ḍīq – mengekang/membatasi
hati dan pikiran, memaksakan
hamm - kegelisahan,
kecemasan, kesedihan hati dan pikiran karena takut bencana yang akan datang
atau membahayakan.
ghamm - sama seperti hamm, hanya itu bahaya yang
dikhawatirkan akan datang telah datang, sehingga menjadi penderitaan.
usr
- keras, sulit dan keadaan yang tidak menyenangkan
Dengan memahami
konsep shaqawah dalam AlQur’an, maka
kita dapat melihat kesamaan dalam konsepsi Barat yang disebut dengan tragedi.
Seperti yang disebut Prof. Al-Attas, bahkan mereka sendiri—Yunani Kuno—yang
merumuskan konsep tersebut dari persentuhan mereka dengan agama, terutama
Yudaisme, yang dapat ditemui dalam jumlah kecil di negara kota Athena .
Konsep Barat
yang senada dengan shawaqah, lawan
dari kebahagiaan adalah penderitaan. Yang meliputi keseluruhan dimensi kehidupan-sekuler
manusia. Selalu berada dalam tingkatan yang tidak tetap (naik turun) dan
berubah. Sebagaimana dipahami secara umum oleh masyarakat Barat, terutama para
filsuf, kebahagiaan berlaku sepanjang
waktu seperti perasaan psikologis atau emosi yang mempunyai awal dan berakhir.
Para pemikir awal ini berpendapat bahwa kebahagiaan ini tidak dapat ditemukan
dan mencapai. Bisa jadi hanya sesaat - kadang merasa sedih, kadang bahagia.
Mereka menyangka bahwa kebahagiaan yang mengacu pada dunia. Dengan demikian
mereka menemukannya dalam keadaan yang berubah-ubah secara terus-menerus.
kebahagiaan semcam ini adalah jenis kebahagiaan - al-nafs al-ḥāyawāniyyah.
Karena itu, para
filsuf dan pemikir Barat menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin memperoleh kebahagiaan yang bersifat
permanen. Bertentangan dengan ini, dalam Islam—sebagaimana dijelaskan dalam AlQur’an dan hadist--bahwa
ada tingkatan kebahagiaan yang apabila seseorang mampu mencapainya, maka
kebahagiaan tersebut bersifat permanen. Kebahagiaan, atau dalam istilah
Al-Quran disebut dengan sa’adah,
merujuk pada ranah spiritual dan bukan hanya ranah sekuler.
Prof. Al-Attas
menjelaskan tentang ayat dalam Surat Al-‘Asr, dimana kata khusr yang artinya “dalam keadaan merugi. Terkecuali tentunya bagi
orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling
menasihati dalam Kebenaran (Haqq) dan
saling menasihati dalam kesabaran (QS, 103), maka mereka tidak berada dalam
keadaan merugi.
Muslim hari ini
mengartikan istilah tragedi dan mengira itu adalah sebuah drama
dengan kesan teatrikal. Drama, menurut Prof Al-Attas; adalah meniru
sesuatu yang nyata yang terjadi dalam diri manusia tersebut. Meskipun ide
tragedi tidak spesifik untuk peradaban Barat saja, namun bahwa- orang Barat,
melalui filsuf dan pemikir, menanamkan secara sistematis konsepsi tragedi dalam
tulisan mereka secara bertahap, secara bertahap disebarluaskan melalui
literatur-literatur, kesenian dan sampai pada saat ini dalam bentuk budaya pop.
Drama tragis
dilihat dalam 3 Kisah:
1: Pahlawan di
dalam keadaan puncak kebahagiaan' - di taman Eden/surga.
2: Pahlawan
memiliki musuh, berkomplot melawannya karena melihatnya melakukan kesalahan
akibat godaan, ia merasa sebagai bagian dari konflik, timbul perselisihan.
3: Penemuan
sesuatu yang mengerikan - dalam keadaan kebingungan tentang makan kebenaran, mana yang benar dan mana yang salah. Dalam sebuah tragedi, kebenaran
adalah sesuatu yang mengerikan.
Orang Barat,
menurut Prof Al-Attas, mengambil rujukan dasar tragedi dari definisi
Aristoteles. Meskipun kita mungkin tidak setuju dengan Aristoteles,
keprihatinan kita sebagai Muslim untuk menyelidiki darimana Aristoteles
mendapatkan ide ini dalam mendefinisikan tragedi. Prof Al-Attas membuktikan
bahwa—sebagaimana dijelaskan sebelumnya—Aristoteles menemui ide ini dari
Tanzil. dari apa yang diungkapkan Nabi Musa (as), mengingat orang Yahudi sudah menghuni
Athena pada masa itu. Orang Yahudi yang berbicara tentang Satu Tuhan, dimana
Aristoteles—meskipun kafir sendiri–melahirkan karya intelektual tentang Tuhan
yang satu. Definisi tragedi juga mungkin dipahami oleh orang-orang Yahudi
melalui kisah Alkitab tentan keturunan Nabi Adam (saw), nenek moyang manusia.
Dalam versi
Bibel, turunnya Nabi Adam (AS.) lebih dimaknai sebagai bencana/keruntuhan.
Namun dalam Islam, pemahaman cerita ini sebagaiama diungkapkan dalam AlQur’an,
berlawanan dengan konsep Kristen. Nabi Adam (AS) mengetahui kenyataan turunnya
ia ke bumi bukan sarat perasaan bersalah yang ekstrim dan keputusasaan dan
menjadikan hal ini sebagai bentuk hukuman (yang dalam konsep Kristen dipahami
sebagai konsep “Original Sin”).
Sebaliknya, dalam AlQur’an dijelaskan, Nabi Adam (AS) dan Siti Hawa telah
mengakui dosanya seraya bertobat. Maka Allah mengampuni mereka. Allah bahkan menjanjikan
Nabi Adam (AS) dan Siti Hawa dan
keturunannya petunjuk yang datang dari-Nya. Siapa yang mengikuti petunjuk-Nya
tidak akan tersesat atau jatuh ke dalam penderitaan. Seperti yang diungkapkan
dalam ayat-ayat AlQur’an: (7: 19-25), (20: 117-124), (7 : 72).
Dalam versi injil, peristiwa ini
diartikan sebagai kisah tragis seorang tokoh bersama keturunannya dilaknat
dengan kehidupan penuh konflik dan penderitaan di alam terestrial ini. Para
Psikolog modern menemukan banyak contoh dalam literatur Yunani dan mitologi
dalam menggambarkan keberadaan manusia dalam kisah ini. Seperti mitos Sisyphus, yang versi abad 20 nya muncul dalam karya Albert Camus, seorang
Absurdis asal Prancis.
Prof. Al-Attas
kemudian menjelaskan tentang metode katarthis—penghapusan dosa dan kesalahan
didalam diri atau jiwa. Ide menghapus dosa ini sebagaimana termuat dalam
Poetics karya Aristoteles, dituntaskan dengan drama itu sendiri. Mereka
menyaksikan drama ini yang dipentaskan di teater dengan tujuan, penonton yang
menyaksikannya akan menyadari bahwa penderitaan eksistensial adalah sesuatu
yang “kekal” dalam pengalaman pribadinya—sesuatu yang mereka tidak terlibat didalamnya.
Mereka perlu menyaksikannya berulang kali karena dampak drama ini hanya
bersifat sementara.
Menurut
Prof. Al-Attas, pengembangan drama oleh Peradaban Barat tidak bisa disamakan
dengan peradaban lainnya. Mereka telah mengekspansi kisah drama pentas tersebut
kedalam bentuk ekspresi lainnya seperti literatur, musik dan teater—dimana
terjadi penambahan jenis kisah tragis dalam versi filosofis. Hari ini kita
telah membuat kekeliruan dengan menyamakan kebahagiaan dengan kepuasan/
kesenangan (pleasure) dan amusment, yang mana makna kebahagiaan sebenarnya vis
a vis dengan penderitaan yang muncul dari inner-self (bagian terdalam diri
kita). Bagian penderitaan yang tertanam didalam jiwa seperti keraguan: adalah
sumber nyata dari segala penderitaan. Termaktub dalam AlQur’an “for them is the
terrible homecoming” (13:35). It is a homecoming because all of mankind come
from the realm of the spirit and will be returning to that realm again. Islām
taught us to overcome this misery by attaining tranquility of the soul – the
stable and peaceful calmness of heart (ṭumaʾnīnah) in which this condition also
refers to the tranquil soul (al-nafs al-muṭmaʾinnah).
Prof. Al-attas
menjelaskan sebuah ayat (lā khawfun ʿalaihim wa lā hum yaḥzanūn -10:62) Tiada
rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka berputus asa—kata Khawf yang
berarti takut; ketakutan akan ketidaktahuan, kesepian, tidak terhubung dengan
apapun, dimana Prof. Al-Attas memaparkan lebih jauh, dengan memikirkan ayat
tersebut, akan meruntuhkan rasa takut. Orang-orang yang benar-benar
beriman—muslim dan mu’min—tidak akan pernah beada dalam stasiun ketakutan,
karena keberadaan Allah, sebagaimana
perintah-Nya kepada orang beriman, untuk selalu mengingatnya dengan berdzikir.
Rasa takut akan kesendirian akan sirna dengan mengingat Allah. Hal ini juga merupakan bentuk komunikasi yang
memberikan kedamaian dan ketenangan bagi orang beriman. Dzikir juga
menghubungkan mu’min dengan Nabi Muhammad (SAW). Dzikir, sebagaimana dijelaskan
Prof. Al-Attas tidak hanya sekedar mengingat, melainkan juga kesadaran akan
pengetahuan (ma’rifah) atas Allah SWT.
Beberapa orang
salah menanggapi ide ini mengingat ketika mereka mengacu pada ayat penciptaan-
mīthāq (7:172) sebagai sesuatu yang mereka tidak pernah ingat . Kita diingatkan
dengan ayat Qur’an seperti " kamu
tidak akan melupakan " (Fala Tansa - 87 : 6), di mana hal tersebut harus dipahami - seperti yang dijelaskan oleh
Prof Al - Attas - sehubungan dengan penciptaan kita oleh Allah SWT, kita telah mengakui Nya sebagai
Tuhan kita. Hanya saja keberadaan kita
di alam ini yang menjadikan kita lupa dan lalai tentang hari penciptaan.
Pertanyaan
tentang bagaimana untuk mencapai kebahagiaan akan membawa kita pada pertanyaan
tentang kebutuhan untuk memiliki iman dalam rangka mencapai Tumaʾninah (13 : 28)
. Menurut Prof Al - Attas , penegasan di Hari Perjanjian itu sendiri merupakan
amanah dari Allah atas ketuhanan -Nya
dan kita sebagai hamba sahaya -Nya . Kata amanah disinggung dari ayat
ini juga berkaitan dengan kata benda dari amina: amnu; yang berarti kebebasan
keamanan dari rasa takut . Bahkan dalam Bahasa Melayu, konsep perdamaian
dikenal dengan kata aman: dari akar yang sama dengan Arab amnu . Prof Al - Attas lebih lanjut menjelaskan bahwa memiliki iman
berarti pemenuhan amanah -sehubungan dengan hari penciptaan - yang akan
mengarahkan orang beriman kepada kedamaian. Iman tidak semestinya dipahami
dengan cara sederhana seperti hanya dengan pernyataan " kami percaya
", tetapi sebagaimana yang Tuhan ungkapkan tentang diri-Nya kepada kita
dan hal tersebut merupakan rahasia dari-Nya.”
Tentu saja ada orang yang menolak Iman dan menjadi sesat, yang akan membawa mereka dalam keadaan merugi—shaqawāh. Dalam tadabbur Qur‘annya , Prof Al - Attas menjelaskan bahwa ada banyak kata terkonjugasi terkait dengan shaqawāh. Seperti Shaqa , yashqā , tashqā , ashqā , al- ashqā , shaqiyy , dan shiqwah yang menunjukkan penolakan terhadap bimbingan dari Allah—sementara kata ʿusr atau isr terjadi pada semua, baik orang percaya dan tidak percaya, tapi shaqawāh hanya mengacu pada orang-orang kafir. Para nabi juga menderita, tapi mereka mengetahui makna dan tujuan hidup dan di mana mereka menuju sehingga penderitaan mereka bukanlah jenis shaqawāh karena mereka mengetahui kedudukan/maqamat mereka.
Prof
Al-Attas menekankan bahwa, mencapai kebahagiaan bukanlah akhir itu sendiri.
Kegunaannya hanyalah untuk menuju kepada
Allah—Cinta kepada Allah, yang diarahkan pada akhirat, terkait untuk diri: baik
tubuh dan jiwa yang tidak dalam keraguan . Bagi muslim, tidak penting memahami
konsep tragedi, melainkan konsep shaqawāh
yang perlu dimengerti. Konsep tragedi yang menembus dalam kehidupan kita
sehari-hari saat ini melalui penyebaran pengaruh budaya dari Barat, dapat
ditelusuri dan dipahami dari konsep Al-Qur'an
mengenai shaqawāh . Prof Al-Attas
juga mengkritik intelektual kita yang nyinyir tentang gagasan kebahagiaan yang
tidak permanen. Seperti jika hari ini anda bahagia dan besok anda tidak puas.
Pertanyaan
kedua adalah mengenai cara mempelajari tulisan Prof Al-Attas tentang
kebahagiaan . Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa kita harus tahu bahasa dengan
baik dan tidak membacanya seperti membaca koran. Prof Al-Attas menekankan bahwa
ketika ia menulis sesuatu, ia menulisnya dengan cara yang sangat bijaksana dan
hati-hati, dalam pemilihan kata-kata , dalam menempatkan pemikirannya ke dalam
kertas. Mengenai hal ini, tidak
dapat dibaca terburu-buru.
Prof
Al-Attas memperingatkan kita untuk tidak melihat konsep akhlaq dengan cara
sederhana, di mana beberapa dari kalangan Ulama kita keliru dengan mengurangi makna
akhlaq menjadi etika sosial. Saat ini,
orang tidak lagi menggunakan kata 'kebajikan' (Fadilah), sebagai gantinya mereka menggunakan kata nilai/value. Hal ini, menurut Prof Al-Attas,
terjadi karena pengaruh yang diberikan oleh ekonom dan para ilmuwan sosial yang
meminjam konsep kebajikan dari etika dan moralitas. Nilai adalah sesuatu yang
kita berikan, berasal dari mereka, tetapi kebajikan berasal dari Allah SWT dan
bukan prinsip yang dibuat manusia.
Prof
Al-Attas menyinggung pergeseran semantik terjadi karena kita, umat Islam,
mengalir dalam aliran yang sama dengan peradaban yang lain. Berenang di arus
perubahan cepat. Peradaban lain yang
mendominasi di dunia saat ini tidak lain adalah peradaban Barat, yang membuat
kebebasan sebagai 'keyakinan' dalam dirinya sendiri. Hak asasi manusia sendiri
adalah hasil dari pendewaan manusia, di mana manusia itu sendiri adalah ukuran
dari segala sesuatu. Bahkan dalam Bahasa Indonesia, lazim digunakan istilah
tanpa batasan (no boundaries), yang secara konseptual bertindak melawan
prinsip pengetahuan yang terikat oleh batas-batas kebenaran pada setiap obyek
pengetahuan. Tanpa batas kita tidak bisa tahu. Bahkan Allah SWT membuat kita
mengenalnya dengan cara yang terbatas. Tanpa batas semuanya akan diragukan.
Kata 'definisi' sendiri bermakna ‘de – fine’
– to make it fine until you cannot make
it final .
Sebelum
mengakhiri ceramahnya, Prof Al -Attas memberikan tafsir yang sederhana dari
ayat-ayat (2:17-20), di mana subjek manusia dalam ayat ini adalah metafora bagi
peradaban modern—selalu berubah, tidak ingin mendengarkan kebenaran. Melibatkan
diri dengan konsep mereka tentang kebebasan tanpa batas dan pilihan hanya
membawa kecemasan dan keraguan yang menyebabkan penderitaan dalam arti shaqawāh.
Posting Komentar