Kamis, 19 Januari 2017

Makna Kebahagiaan dalam Islam


Pada 18 Februari 2012, Majelis Intelektual Muslim (HAKIM) mengirim enam anggota mereka untuk menghadiri kuliah umum yang diselenggarakan oleh Dar al-Andalus, Lingkaran Studi Suffah di Singapura, dalam kuliah umum berjudul "Arti dan Pengalaman Kebahagiaan dalam Islām." Disampaikan oleh seorang sarjana yang berbasis di Malaysia, yang terhormat Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas.

Kuliah ini dibatasi pada dua pertanyaan yang diajukan berkaitan dengan topik arti kebahagiaan dalam Islam. Ia sebelumnya secara brilian menulisnya dalam bentuk monograf dan dimasukkan sebagai bab kedua dalam  magnum opusnya -Prolegomena to the Metaphysics of Islam. Sebelum kuliah dimulai, Ia menyebutkan bahwa topik ini tidak dapat diuraikan secara singkat dalam dua jam karena diperlukan pembelajaran  satu semester penuh di ISTAC sebelum  memasuki kajian tentang hal ini secara rinci dan panjang lebar. Namun kuliah ini dimaksudkan  untuk menyentuh hal-hal mendasar yang berkaitan dengan topik.

Pertanyaan pertama adalah, apakah perlu bagi muslim untuk memahami konsep Barat tentang tragedi sebelum kita bisa memahami arti kebahagiaan dalam Islam.

Prof. Al-Attas menekankan bahwa meskipun tidak perlu untuk memahami konsep tragedi yang berkembang di karya-karya besar filsuf Barat  sejak Iliad karya  Homer, Poetics-nya  Aristoteles. Namun sangat penting bagi umat Islam saat ini untuk memahami kebalikan dari saʿadah, yang disebut dalam  AlQurʾan dengan shaqawāh. Jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris kurang lebih setara dengan 'kemalangan besar', 'penderitaan', 'keadaan serba kekurangan', 'kesusahan', 'kegelisahan', 'putus asa', 'kesulitan', 'penderitaan'.

Seperti yang dijelaskan oleh Prof Al-Attas, konsep shaqawāh adalah genera (penggolongan) untuk semua konsep lain yang bertindak sebagai pembeda (al-fusul, fasl) atas konsep seperti: khawf – takut terhadap sesuatu: dari yang tidak diketahui,  dari kesunyian total dan yang tidak dapat diceritakan, bayangan tentang kematian dan apa yang ada setelahnya, firasat ketakutan dan kecemasan.

ḥuzn - kesedihan, duka, sedih, kerasnya jiwa

Dank - kesempitan, terhambat, kesengsaraan dalam jiwa dan pikiran  yang menyebabkan  ketidakmampuan dalam  memahami sesuatu, yang menyebabkan keraguan dalam hati.

Hasrat - kesedihan mendalam dan penyesalan atas sesuatu yang hilang dan tidak pernah dialami kesedihan sangat tajam dan penyesalan dari orang yang berpaling dari Allah dan menghabiskan hidupnya di diri limbah ketika menemukan setelah kematian bagaimana ia telah kehilangan jiwanya dan menyesali dengan pahit ketidakmungkinan kembali ke kehidupan duniawi untuk menebus kesalahan.

ḍīq – mengekang/membatasi hati dan pikiran, memaksakan

hamm - kegelisahan, kecemasan, kesedihan hati dan pikiran karena takut bencana yang akan datang atau membahayakan.

ghamm - sama seperti hamm, hanya itu bahaya yang dikhawatirkan akan datang telah datang, sehingga menjadi penderitaan.

 usr - keras, sulit dan keadaan yang tidak menyenangkan

Dengan memahami konsep shaqawah dalam AlQur’an, maka kita dapat melihat kesamaan dalam konsepsi Barat yang disebut dengan tragedi. Seperti yang disebut Prof. Al-Attas, bahkan mereka sendiri—Yunani Kuno—yang merumuskan konsep tersebut dari persentuhan mereka dengan agama, terutama Yudaisme, yang dapat ditemui dalam jumlah kecil di negara kota Athena .

Konsep Barat yang senada dengan shawaqah, lawan dari kebahagiaan adalah penderitaan. Yang meliputi keseluruhan dimensi kehidupan-sekuler manusia. Selalu berada dalam tingkatan yang tidak tetap (naik turun) dan berubah. Sebagaimana dipahami secara umum oleh masyarakat Barat, terutama para filsuf, kebahagiaan  berlaku sepanjang waktu seperti perasaan psikologis atau emosi yang mempunyai awal dan berakhir. Para pemikir awal ini berpendapat bahwa kebahagiaan ini tidak dapat ditemukan dan mencapai. Bisa jadi hanya sesaat - kadang merasa sedih, kadang bahagia. Mereka menyangka bahwa kebahagiaan yang mengacu pada dunia. Dengan demikian mereka menemukannya dalam keadaan yang berubah-ubah secara terus-menerus. kebahagiaan semcam ini adalah jenis kebahagiaan - al-nafs al-ḥāyawāniyyah.

Karena itu, para filsuf dan pemikir Barat menganggap bahwa mereka tidak akan mungkin  memperoleh kebahagiaan yang bersifat permanen. Bertentangan dengan ini, dalam Islam—sebagaimana  dijelaskan dalam AlQur’an dan hadist--bahwa ada tingkatan kebahagiaan yang apabila seseorang mampu mencapainya, maka kebahagiaan tersebut bersifat permanen. Kebahagiaan, atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan sa’adah, merujuk pada ranah spiritual dan bukan hanya ranah sekuler.

Prof. Al-Attas menjelaskan tentang ayat dalam Surat Al-‘Asr, dimana kata khusr yang artinya “dalam keadaan merugi. Terkecuali tentunya bagi orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan orang-orang yang saling menasihati dalam Kebenaran (Haqq) dan saling menasihati dalam kesabaran (QS, 103), maka mereka tidak berada dalam keadaan merugi.

Muslim hari ini mengartikan istilah tragedi dan mengira itu adalah sebuah  drama  dengan kesan teatrikal. Drama, menurut Prof Al-Attas; adalah meniru sesuatu yang nyata yang terjadi dalam diri manusia tersebut. Meskipun ide tragedi tidak spesifik untuk peradaban Barat saja, namun bahwa- orang Barat, melalui filsuf dan pemikir, menanamkan secara sistematis konsepsi tragedi dalam tulisan mereka secara bertahap, secara bertahap disebarluaskan melalui literatur-literatur, kesenian dan sampai pada saat ini dalam bentuk budaya pop.

Drama tragis dilihat dalam 3 Kisah:
1: Pahlawan di dalam keadaan puncak kebahagiaan' - di taman Eden/surga.
2: Pahlawan memiliki musuh, berkomplot melawannya karena melihatnya melakukan kesalahan akibat godaan, ia merasa sebagai bagian dari konflik,  timbul perselisihan.
3: Penemuan sesuatu yang mengerikan - dalam keadaan kebingungan tentang makan  kebenaran, mana  yang benar dan mana  yang salah. Dalam sebuah tragedi, kebenaran adalah sesuatu yang mengerikan.

Orang Barat, menurut Prof Al-Attas, mengambil rujukan dasar tragedi dari definisi Aristoteles. Meskipun kita mungkin tidak setuju dengan Aristoteles, keprihatinan kita sebagai Muslim untuk menyelidiki darimana Aristoteles mendapatkan ide ini dalam mendefinisikan tragedi. Prof Al-Attas membuktikan bahwa—sebagaimana dijelaskan sebelumnya—Aristoteles menemui ide ini dari Tanzil. dari apa yang diungkapkan Nabi Musa (as), mengingat orang Yahudi sudah menghuni Athena pada masa itu. Orang Yahudi yang berbicara tentang Satu Tuhan, dimana Aristoteles—meskipun kafir sendiri–melahirkan karya intelektual tentang Tuhan yang satu. Definisi tragedi juga mungkin dipahami oleh orang-orang Yahudi melalui kisah Alkitab tentan keturunan Nabi Adam (saw), nenek moyang manusia.

Dalam versi Bibel, turunnya Nabi Adam (AS.) lebih dimaknai sebagai bencana/keruntuhan. Namun dalam Islam, pemahaman cerita ini sebagaiama diungkapkan dalam AlQur’an, berlawanan dengan konsep Kristen. Nabi Adam (AS) mengetahui kenyataan turunnya ia ke bumi bukan sarat perasaan bersalah yang ekstrim dan keputusasaan dan menjadikan hal ini sebagai bentuk hukuman (yang dalam konsep Kristen dipahami sebagai konsep “Original Sin”). Sebaliknya, dalam AlQur’an dijelaskan, Nabi Adam (AS) dan Siti Hawa telah mengakui dosanya seraya bertobat. Maka Allah mengampuni mereka. Allah bahkan menjanjikan Nabi Adam (AS) dan Siti Hawa  dan keturunannya petunjuk yang datang dari-Nya. Siapa yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat atau jatuh ke dalam penderitaan. Seperti yang diungkapkan dalam ayat-ayat AlQur’an: (7: 19-25), (20: 117-124), (7 : 72).

Dalam versi injil, peristiwa ini diartikan sebagai kisah tragis seorang tokoh bersama keturunannya dilaknat dengan kehidupan penuh konflik dan penderitaan di alam terestrial ini. Para Psikolog modern menemukan banyak contoh dalam literatur Yunani dan mitologi dalam menggambarkan keberadaan manusia dalam kisah ini. Seperti  mitos Sisyphus, yang versi abad 20 nya  muncul dalam karya Albert Camus, seorang Absurdis asal Prancis.

Prof. Al-Attas kemudian menjelaskan tentang metode katarthis—penghapusan dosa dan kesalahan didalam diri atau jiwa. Ide menghapus dosa ini sebagaimana termuat dalam Poetics karya Aristoteles, dituntaskan dengan drama itu sendiri. Mereka menyaksikan drama ini yang dipentaskan di teater dengan tujuan, penonton yang menyaksikannya akan menyadari bahwa penderitaan eksistensial adalah sesuatu yang “kekal” dalam pengalaman pribadinya—sesuatu yang mereka tidak terlibat didalamnya. Mereka perlu menyaksikannya berulang kali karena dampak drama ini hanya bersifat sementara.

Menurut Prof. Al-Attas, pengembangan drama oleh Peradaban Barat tidak bisa disamakan dengan peradaban lainnya. Mereka telah mengekspansi kisah drama pentas tersebut kedalam bentuk ekspresi lainnya seperti literatur, musik dan teater—dimana terjadi penambahan jenis kisah tragis dalam versi filosofis. Hari ini kita telah membuat kekeliruan dengan menyamakan kebahagiaan dengan kepuasan/ kesenangan (pleasure) dan amusment, yang mana makna kebahagiaan sebenarnya vis a vis dengan penderitaan yang muncul dari inner-self (bagian terdalam diri kita). Bagian penderitaan yang tertanam didalam jiwa seperti keraguan: adalah sumber nyata dari segala penderitaan. Termaktub dalam AlQur’an “for them is the terrible homecoming” (13:35). It is a homecoming because all of mankind come from the realm of the spirit and will be returning to that realm again. Islām taught us to overcome this misery by attaining tranquility of the soul – the stable and peaceful calmness of heart (ṭumaʾnīnah) in which this condition also refers to the tranquil soul (al-nafs al-muṭmaʾinnah).

Prof. Al-attas menjelaskan sebuah ayat (lā khawfun ʿalaihim wa lā hum yaḥzanūn -10:62) Tiada rasa takut atas mereka dan tidak pula mereka berputus asa—kata Khawf yang berarti takut; ketakutan akan ketidaktahuan, kesepian, tidak terhubung dengan apapun, dimana Prof. Al-Attas memaparkan lebih jauh, dengan memikirkan ayat tersebut, akan meruntuhkan rasa takut. Orang-orang yang benar-benar beriman—muslim dan mu’min—tidak akan pernah beada dalam stasiun ketakutan, karena  keberadaan Allah, sebagaimana perintah-Nya kepada orang beriman, untuk selalu mengingatnya dengan berdzikir. Rasa takut akan kesendirian akan sirna dengan mengingat Allah.  Hal ini juga merupakan bentuk komunikasi yang memberikan kedamaian dan ketenangan bagi orang beriman. Dzikir juga menghubungkan mu’min dengan Nabi Muhammad (SAW). Dzikir, sebagaimana dijelaskan Prof. Al-Attas tidak hanya sekedar mengingat, melainkan juga kesadaran akan pengetahuan  (ma’rifah) atas Allah SWT.

Beberapa orang salah menanggapi ide ini mengingat ketika mereka mengacu pada ayat penciptaan- mīthāq (7:172) sebagai sesuatu yang mereka tidak pernah ingat . Kita diingatkan dengan ayat  Qur’an seperti " kamu tidak akan melupakan " (Fala Tansa - 87 : 6), di mana hal tersebut  harus dipahami - seperti yang dijelaskan oleh Prof Al - Attas - sehubungan dengan penciptaan kita oleh  Allah SWT, kita telah mengakui Nya sebagai Tuhan kita. Hanya saja  keberadaan kita di alam ini yang menjadikan kita lupa dan lalai tentang hari penciptaan.

Pertanyaan tentang bagaimana untuk mencapai kebahagiaan akan membawa kita pada pertanyaan tentang kebutuhan untuk memiliki iman dalam rangka mencapai Tumaʾninah (13 : 28) . Menurut Prof Al - Attas , penegasan di Hari Perjanjian itu sendiri merupakan amanah dari Allah atas ketuhanan -Nya  dan kita sebagai hamba sahaya -Nya . Kata amanah disinggung dari ayat ini juga berkaitan dengan kata benda dari amina: amnu; yang berarti kebebasan keamanan dari rasa takut . Bahkan dalam Bahasa Melayu, konsep perdamaian dikenal dengan kata aman: dari akar yang sama dengan Arab amnu . Prof Al - Attas lebih lanjut menjelaskan bahwa memiliki iman berarti pemenuhan amanah -sehubungan dengan hari penciptaan - yang akan mengarahkan orang beriman kepada kedamaian. Iman tidak semestinya dipahami dengan cara sederhana seperti hanya dengan pernyataan " kami percaya ", tetapi sebagaimana yang Tuhan ungkapkan tentang diri-Nya kepada kita dan hal tersebut merupakan rahasia dari-Nya.”  
                                                                                                                
Tentu saja ada orang yang menolak Iman dan menjadi sesat, yang akan membawa mereka dalam keadaan merugi—shaqawāh. Dalam tadabbur Qur‘annya , Prof Al - Attas menjelaskan bahwa ada banyak kata terkonjugasi terkait dengan shaqawāh. Seperti Shaqa , yashqā , tashqā , ashqā , al- ashqā , shaqiyy , dan shiqwah yang menunjukkan penolakan terhadap bimbingan dari Allah—sementara kata ʿusr atau isr terjadi pada semua, baik orang percaya dan tidak percaya, tapi shaqawāh hanya mengacu pada orang-orang kafir. Para nabi juga menderita, tapi mereka mengetahui  makna dan tujuan hidup dan di mana mereka menuju sehingga penderitaan mereka bukanlah jenis shaqawāh karena mereka mengetahui kedudukan/maqamat mereka.

Prof Al-Attas menekankan bahwa, mencapai kebahagiaan bukanlah akhir itu sendiri. Kegunaannya hanyalah untuk menuju  kepada Allah—Cinta kepada Allah, yang diarahkan pada akhirat, terkait untuk diri: baik tubuh dan jiwa yang tidak dalam keraguan . Bagi muslim, tidak penting memahami konsep tragedi, melainkan konsep shaqawāh yang perlu dimengerti. Konsep tragedi yang menembus dalam kehidupan kita sehari-hari saat ini melalui penyebaran pengaruh budaya dari Barat, dapat ditelusuri dan dipahami dari konsep Al-Qur'an  mengenai shaqawāh . Prof Al-Attas juga mengkritik intelektual kita yang nyinyir tentang gagasan kebahagiaan yang tidak permanen. Seperti jika hari ini anda bahagia dan besok anda tidak puas.

Pertanyaan kedua adalah mengenai cara mempelajari tulisan Prof Al-Attas tentang kebahagiaan . Dalam hal ini ia menjelaskan bahwa kita harus tahu bahasa dengan baik dan tidak membacanya seperti membaca koran. Prof Al-Attas menekankan bahwa ketika ia menulis sesuatu, ia menulisnya dengan cara yang sangat bijaksana dan hati-hati, dalam pemilihan kata-kata , dalam menempatkan pemikirannya ke dalam kertas. Mengenai hal ini, tidak dapat dibaca terburu-buru.

Prof Al-Attas memperingatkan kita untuk tidak melihat konsep akhlaq dengan cara sederhana, di mana beberapa dari kalangan Ulama kita keliru dengan mengurangi makna akhlaq menjadi  etika sosial. Saat ini, orang tidak lagi menggunakan kata 'kebajikan' (Fadilah), sebagai gantinya mereka menggunakan kata nilai/value. Hal ini, menurut Prof Al-Attas, terjadi karena pengaruh yang diberikan oleh ekonom dan para ilmuwan sosial yang meminjam konsep kebajikan dari etika dan moralitas. Nilai adalah sesuatu yang kita berikan, berasal dari mereka,  tetapi kebajikan berasal dari Allah SWT dan bukan prinsip yang dibuat manusia.

Prof Al-Attas menyinggung pergeseran semantik terjadi karena kita, umat Islam, mengalir dalam aliran yang sama dengan peradaban yang lain. Berenang di arus perubahan cepat. Peradaban lain  yang mendominasi di dunia saat ini tidak lain adalah peradaban Barat, yang membuat kebebasan sebagai 'keyakinan' dalam dirinya sendiri. Hak asasi manusia sendiri adalah hasil dari pendewaan manusia, di mana manusia itu sendiri adalah ukuran dari segala sesuatu. Bahkan dalam Bahasa Indonesia, lazim digunakan istilah tanpa batasan (no boundaries),  yang secara konseptual bertindak melawan prinsip pengetahuan yang terikat oleh batas-batas kebenaran pada setiap obyek pengetahuan. Tanpa batas kita tidak bisa tahu. Bahkan Allah SWT membuat kita mengenalnya dengan cara yang terbatas. Tanpa batas semuanya akan diragukan. Kata 'definisi'  sendiri bermakna ‘de – fine’ – to make it fine until you cannot make it final .

Sebelum mengakhiri ceramahnya, Prof Al -Attas memberikan tafsir yang sederhana dari ayat-ayat (2:17-20), di mana subjek manusia dalam ayat ini adalah metafora bagi peradaban modern—selalu berubah, tidak ingin mendengarkan kebenaran. Melibatkan diri dengan konsep mereka tentang kebebasan tanpa batas dan pilihan hanya membawa kecemasan dan keraguan yang menyebabkan penderitaan dalam arti shaqawāh.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search