Kedai Kopi di London pada abad ke-17 |
Konsep
ruang publik (public sphere) secara
etimologi mempunyai akar kata dalam beberapa bahasa secara etimologi yang
diuraikan oleh Habermas (2015: 4-6). Dalam bahasa Jerman dikenal istilah Offenlichkeit yang berasal dari kata
sifat yang usia katanya lebih tua, offenlich.
Kata ini berproses dalam membentuk maknanya selama abad ke-18 di Jerman, dimana
padanan katanya dalam bahasa Perancis adalah publicité yang berarti publicity
dalam bahasa Inggris. Akar kata ini setidaknya berkembang di Jerman dibanding di
Perancis dan Inggris. Ruang ini lahir dan berkembang sebagai bagian spesifik
dari ‘masyarakat sipil’ yang menjadi tempat pertukaran komoditas dan
kerja-kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya tersendiri.
Secara
etimologi, istilah ini memiliki akar dari bahasa Yunani yang sampai saat ini
dipergunakan melalui warisan dari Romawi Kuno. Di dalam negara-kota Yunani kuno
yang sudah maju, ruang (sphere) dalam
pengertian Polis, yang terbuka (koine)
bagi setiap warganya yang merdeka, jauh berbeda dengan istilah ruang dalam
pengertian oikos yang diartikan
sebagai ruang individu berada di dunianya masing-masing (idia). Kehidupan publik, bios
politikos, berlangsung di tempat-tempat semacam pasar, namun belum berarti
hanya berada di satu tempat saja. Sedasngkan ruang publik terdapat dalam
diskusi-diskusi (lexis), yang juga
dapat berarti konsultasi atau duduk di ruang pengadilan. Atau bahkan di dalam
tindakan bersama (praxis) seperti di
dalam perang atau dalam pertandingan-pertandingan atletik.
Sejak
Renaisans, model ruang public Helenistik telah mengalami modifikasi bersamaan
dengan semua hal klasik lainnya. Namun yang menjadi dasar atas pemahaman atas
ruang publik sendiri yang dipahami sebagai res
publica justru berasal dari definisi hukum Roma kuno. Kategori-kategori
mengenai privat, publik dan ruang publik sendiri baru menemui ruang
pengaplikasian konseptual yang tepat dalam pengartian teknis dan legal adalah
ketika lahirnya negara modern dan ketika ruang masyarakat sipil dipisahkan
darinya.
Pembentukan Institusi Ruang Publik
Secara
historis, institusi ruang publik terbentuk dan berkembang pada periode abad
pertengahan dimana lahirnya ekonomi kapitalisme setelah melewati fase
merkantilisme klasik. Periode ini muncul masyarakat borjuis dimana mereka
kerapkali berkumpul, berdiskusi dan berdebat tentang berbagai hal. Masyarakat
borjuis di kota-kota mulai membentuk institusi ruang publik yang membahas
tentang berbagai hal dan berfungsi sebagai sebuah institusi dengan peran kultural
menggantikan perkumpulan-perkumpulan para bangsawan ynag eksklusif.
Kota
memebangun institusi kultural yang mendominasi seperti kedai-kedai kopi di
zaman keemasan Inggris berkisar tahun 1680 sampai 1870 dan salon-salon di Perancis di periode transisi Revolusi Perancis. Di
dua negara ini, kedai kopi dan salon menjadi
tempat pusat kritik yang diawali dari kritik yang bersifat kesusasteraan hingga
akhirnya bersifat politis. Di dalam institusi ruang publik ini lahir kelompok
baru diantara masyarakat aristokratis dan intekektual-borjuis, sebuah kelompok
terdidik yang memilki kesamaan-kesamaan tertentu. Jarang sekali di abad ke-18
terdapat penulis-penulis besar yang tidak melontarkan gagasannya terlebih
dahulu untuk didiskusikan dan dibicarakan di salon-salon.
Institusi
ini berhasil melampau penghalang-penghalang stratifikasi sosial yang
mempertemukan kaum borjuis dengan kaum bnagsawan yang tinggi derajatnya namun
tidak memiliki pengaruh politis yang membedakan mereka sebagai sesama manusia.
Meskipun elemen pembeda ini belum dapat berperan banyak dalam menyebarkan
kesetaraan politis, namun kesetaraan sosial dimungkinkan untuk pertama kalinya.
Pola yang dibangun dalam kedai kopi dan salon sebagai institusi ruang publik
adalah dengan mengendepankan rasionalitas sebagai dasar bagi pola komunikasi
yang rasional.
Institusi
ruang publik terus berproses dan memiliki sejumlah kriteria institusional yang
mirip, yaitu (2015: 54-55): Pertama, mereka
mempertahankan bentuk hubungan sosial yang jauh dari mengangankan kesetaraan
status, malah cenderung mengesampingkan status tersebut. Kedua, diskusi
di dalam publik ini mengandaikan adanya problematisasi wilayah-wilayah yang
sampai saat itu masih belum dipersoalkan. Mereka tidak lagi menjadi bagian
eksklusif dari status sosial dan komponen dimana mereka berada. Ketiga, prroses
yang sama yang mengubah kebudayaan menjadi komoditas sehingga membuatnya
menjadi objek diskusi, menciptakan publik yang pada prinsipnya bersifat
inklusif. Mereka sadar sebagai anggota dari masyarakat yang inklusif kertimbang
sebagai anggota-anggota kelompok yang kecil.
Rujukan:
Juergen Habermas, Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Penerbit Kreasi Wacana, Bantul, 2015.
Posting Komentar