Kamis, 19 Januari 2017

Konsep Ruang Publik

Kedai Kopi di London pada abad ke-17
Konsep ruang publik (public sphere) secara etimologi mempunyai akar kata dalam beberapa bahasa secara etimologi yang diuraikan oleh Habermas (2015: 4-6). Dalam bahasa Jerman dikenal istilah Offenlichkeit yang berasal dari kata sifat yang usia katanya lebih tua, offenlich. Kata ini berproses dalam membentuk maknanya selama abad ke-18 di Jerman, dimana padanan katanya dalam bahasa Perancis adalah publicité yang berarti publicity dalam bahasa Inggris. Akar kata ini setidaknya berkembang di Jerman dibanding di Perancis dan Inggris. Ruang ini lahir dan berkembang sebagai bagian spesifik dari ‘masyarakat sipil’ yang menjadi tempat pertukaran komoditas dan kerja-kerja sosial yang diatur oleh kaidah-kaidahnya tersendiri.

Secara etimologi, istilah ini memiliki akar dari bahasa Yunani yang sampai saat ini dipergunakan melalui warisan dari Romawi Kuno. Di dalam negara-kota Yunani kuno yang sudah maju, ruang (sphere) dalam pengertian Polis, yang terbuka (koine) bagi setiap warganya yang merdeka, jauh berbeda dengan istilah ruang dalam pengertian oikos yang diartikan sebagai ruang individu berada di dunianya masing-masing (idia). Kehidupan publik, bios politikos, berlangsung di tempat-tempat semacam pasar, namun belum berarti hanya berada di satu tempat saja. Sedasngkan ruang publik terdapat dalam diskusi-diskusi (lexis), yang juga dapat berarti konsultasi atau duduk di ruang pengadilan. Atau bahkan di dalam tindakan bersama (praxis) seperti di dalam perang atau dalam pertandingan-pertandingan atletik.

Sejak Renaisans, model ruang public Helenistik telah mengalami modifikasi bersamaan dengan semua hal klasik lainnya. Namun yang menjadi dasar atas pemahaman atas ruang publik sendiri yang dipahami sebagai res publica justru berasal dari definisi hukum Roma kuno. Kategori-kategori mengenai privat, publik dan ruang publik sendiri baru menemui ruang pengaplikasian konseptual yang tepat dalam pengartian teknis dan legal adalah ketika lahirnya negara modern dan ketika ruang masyarakat sipil dipisahkan darinya.

Pembentukan Institusi Ruang Publik
Secara historis, institusi ruang publik terbentuk dan berkembang pada periode abad pertengahan dimana lahirnya ekonomi kapitalisme setelah melewati fase merkantilisme klasik. Periode ini muncul masyarakat borjuis dimana mereka kerapkali berkumpul, berdiskusi dan berdebat tentang berbagai hal. Masyarakat borjuis di kota-kota mulai membentuk institusi ruang publik yang membahas tentang berbagai hal dan berfungsi sebagai sebuah institusi dengan peran kultural menggantikan perkumpulan-perkumpulan para bangsawan ynag eksklusif.

Kota memebangun institusi kultural yang mendominasi seperti kedai-kedai kopi di zaman keemasan Inggris berkisar tahun 1680 sampai 1870 dan salon-salon di Perancis di periode transisi Revolusi Perancis. Di dua negara ini, kedai kopi dan salon menjadi tempat pusat kritik yang diawali dari kritik yang bersifat kesusasteraan hingga akhirnya bersifat politis. Di dalam institusi ruang publik ini lahir kelompok baru diantara masyarakat aristokratis dan intekektual-borjuis, sebuah kelompok terdidik yang memilki kesamaan-kesamaan tertentu. Jarang sekali di abad ke-18 terdapat penulis-penulis besar yang tidak melontarkan gagasannya terlebih dahulu untuk didiskusikan dan dibicarakan di salon-salon.

Institusi ini berhasil melampau penghalang-penghalang stratifikasi sosial yang mempertemukan kaum borjuis dengan kaum bnagsawan yang tinggi derajatnya namun tidak memiliki pengaruh politis yang membedakan mereka sebagai sesama manusia. Meskipun elemen pembeda ini belum dapat berperan banyak dalam menyebarkan kesetaraan politis, namun kesetaraan sosial dimungkinkan untuk pertama kalinya. Pola yang dibangun dalam kedai kopi dan salon sebagai institusi ruang publik adalah dengan mengendepankan rasionalitas sebagai dasar bagi pola komunikasi yang rasional.

Institusi ruang publik terus berproses dan memiliki sejumlah kriteria institusional yang mirip, yaitu (2015: 54-55): Pertama, mereka mempertahankan bentuk hubungan sosial yang jauh dari mengangankan kesetaraan status, malah cenderung mengesampingkan status tersebut. Kedua, diskusi di dalam publik ini mengandaikan adanya problematisasi wilayah-wilayah yang sampai saat itu masih belum dipersoalkan. Mereka tidak lagi menjadi bagian eksklusif dari status sosial dan komponen dimana mereka berada. Ketiga, prroses yang sama yang mengubah kebudayaan menjadi komoditas sehingga membuatnya menjadi objek diskusi, menciptakan publik yang pada prinsipnya bersifat inklusif. Mereka sadar sebagai anggota dari masyarakat yang inklusif kertimbang sebagai anggota-anggota kelompok yang kecil.

Rujukan: 
Juergen Habermas, Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis, Penerbit                    Kreasi Wacana, Bantul, 2015.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search