![]() |
Ilustrasi |
Oleh: Almufarid
1.
Pendahuluan
Makalah ini membedah
pemikiran dari dua orang filsuf Yunani Kuno, Plato dan Aristoteles, yang
bersumber dari buku Pemikiran Politik di Negeri Barat karya Deliar Noer. Di
sisi lain penulis juga akan membandingkan dengan referensi lainnya yang membahas
bagaimana pemikiran dari Plato dan Aristoteles mengenai Negara, Hukum, dan
Kekuasaan. Kedua pemikir ini merupakan pemikir yang lahir pada masa klasik
Yunani kuno. Pemikirannya dilatarbelakangi oleh kondisi sosial politik masa
itu.
Pada konteks pemikiran
politik, pemikiran Plato dan Aristoteles menjadi induk dari pemikiran-pemikiran
selanjutnya, seperti Thomas Hobbes, Thomas Aquinas, Agustinus, John Locke, J.J
Rousseau, Montesqueu dan lain-lain. Pemikiran keduanya masih menjadi referensi
yang masih dipegang dalam melihat persoalan-persoalan masa kini. Pandangan
Plato dan Aristoteles dalam melihat kekuasaan dan keadilan serta dalam melihat
negara kota memberikan acuan dasar bagi pemikiran politik untuk memetakan
persoalan politik.
Plato tidak lahir
dengan pemikiran kritis yang datang dengan sendirinya. Plato merupakan murid
dari filsuf yang bernama Socrates. Begitu pula Aristoteles merupakan murid dari
Plato. Peradaban manusia yang telah lama ada menjadi bukti eksistensi negara
sebagai tempat manusia berkumpul dan saling berinteraksi. Dalam sejarah kita
mengenal kota-kota kuno seperti Jerussalem, Kairo, Babilonia, Memphis,
Alexandria dan beberapa kota lainnya di kawasan Mediterania, termasuk Yunani.
Pemikiran politik yang lahir saat itu tidak hanya muncul tiba-tiba. Masyarakat
Yunani kuno hidup dengan melihat hal-hal yang saling mempengaruhi
dikehidupannya. Masyarakat Yunani kuno saat itu telah melepaskan diri dari cara
berpikir yang menaruh kecenderungan untuk menerima saja apa yang tiba; yang
meletakkan segala sesuatu pada nasib dan ketentuan yang datang dari alam ghaib,
dan mendasarkan kejadian di dalam alam ini pada kepercayaan dan keyakinan.[1]
Pandangan yang
melihat untuk melihat segala sesuatu dengan akal nalar mendorong masyarakat
Yunani kuno untuk dapat mendorong kehidupan ke arah tata kelola yang lebih
baik. Selain itu, kondisi kehidupan Yunani kuno yang hidup dalam ruang lingkup
yang cenderung tidak terlalu luas dan terbatas, mempermudah mereka untuk
mengelola kehidupan politiknya. Jika kita melihat sebagai ilustrasi kehidupan
masyarakat yang hidup dalam sebuah pulau kecil akan berpeluang saling mengenal
satu sama lain dibandingkan dengan masyarakat yang hidup pada kelompok sosial
yang lebih plural dan besar.
Dalam melihat
latar belakang kondisi sosial Yunani kuno ini Noer memberikan sebabnya pada
tiga poin, pertama, negara yang
disebut polis sering mengalami sifat
pemerintahan. Kedua, yang menimbulkan
perangsang bagi menjawab permasalahan politik, adalah karena bicara dan bukan
kekerasan senjata, yang lebih diutamakan. Ketiga,
apa yang disebut negara mereka samakan dengan masyarakat, dan sebaliknya
masyarakat identik dengan negara.[2]
Pemikiran awal
dari Socrates mengawali terbukanya gerbang diskursus pada masa Yunani kuno.
Socrates sebagai seorang filsuf memiliki metode yang sangat baik dalam membedah
pemikiran lawan bicaranya. Melalui karya monumental Plato yaitu Republik (Politeia) dapat terlihat
bagaimana Plato menggambarkan sosok gurunya dalam menggunakan metodenya. Sikap
metode ini sering terkenal dengan istilah ironi Socrates. Dia mengaku sebagai
sebuah gelas kosong yang secara terus menerus memberikan pertanyaan kepada
lawan bicaranya. Setiap jawaban yang diberikan akan langsung disusul oleh
pertanyaan selanjutnya yang akan melahirkan kebuntuan sang lawan bicara. Pada
akhirnya hanya akan membuka pemahaman lawan bicara yang sebenarnya.
Dalam melihat
persoalan ini Plato sebagai murid Socrates serta muridnya Aristoteles terus
mengembangkan pemikiran Socrates dalam melihat fenomena yang ada saat itu.
Melalui makalah ini penulis akan membedah dan membandingkan pemikiran politik
dari Plato dan Aristoteles tentang negara, kekuasaan dan hukum. Keduanya
memiliki pandangan yang tidak jauh berbeda, namun ada beberapa hal pandangan
berbeda dari Aristoteles terhadap gurunya, Plato.
2.
Pemikiran
Plato
a.
Negara
Plato lahir pada tahun 429 Sebelum Masehi
(SM) dan meninggal dunia pada tahun 347 SM. Seperti yang sudah disampaikan
sebelumnya, Plato adalah murid dari Socrates yang sangat dipengaruhi oleh
pemikirannya. Dalam Republik (Politeia) Plato sangat menjelaskan secara
mendetail bagaimana pemikiran dari Socrates. Plato memandang hal yang paling
penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan. Politeia memberikan gambaran
kepada kita bagaimana seharusnya negara bertindak.
Menurut Ernest Baker, Politeia membicarakan empat hal besar: pertama, mengenai metafisika, yang mencari dan membicarakan apa
sebenarnya hakekat segala yang ada ini; kedua,
mengenai etika, yaitu tentang sikap yang benar dan baik, dan sebaliknya; ketiga, mengenai pendidikan yang harus
dijalani seseorang dalam hidup ini, dan akhirnya mengenai pemerintahan yang
seharusnya, yang ideal.[3]
Keempat hal tersebut menunjukkan
keterkaitan pemikiran Plato dalam melihat negara. Terutama poin keempat yang
memastikan bagaimana negara yang seharusnya. Menurut Plato, keadilan merupakan
sesuatu yang harus ada dalam negara. Segala sesuatu yang dilakukan oleh negara
harus bertujuan untuk mencapai kebajikan. Kebajikan hanya akan terwujud hanya
ketika manusia berpengetahuan. Pengetahuan adalah suatu kebajikan. Pengetahuan
akan membawa kebajikan kepada manusia. Melalui pengetahuan seseorang dapat
mengetahui hal yang baik maupun buruk. Dengan demikian orang tersebut dapat
melihat kebajikan melalui pengetahuan yang dimilikinya.
Plato menganggap pendidikan akan
menciptakan manusia yang berpengetahuan. Pendidikan tidak hanya sebagai tempat
mempelajari sesuatu, tetapi melalui pendidikan akan melahirkan manusia yang
dapat berpikir. Plato menghendaki seorang pemimpin yang baik adalah seorang The Philosopher King (Seorang Raja
Filsuf). Seorang Raja Filsuf memiliki pengetahuan yang tidak dimiliki oleh
rakyatnya. Raja Filsuf dapat memutuskan apa yang baik bagi rakyatnya. Hanya
melalui Raja Filsuf kebajikan akan diperoleh. Plato menganalogikan seorang Raja
filsuf sebagai seorang dokter. Raja filsuf harus memahami berbagai gejala
penyakit masyarakat, mendeteksinya sejak dini, mampu melakukan diagnosa, dan
mencari cara bagaimana menyembuhkan penyakit itu.[4]
b.
Kekuasaan
Kondisi suasana perebutan kekuasaan yang
terjadi pada saat zaman Yunani Kuno sangat mempengaruhi pandangan Plato dalam
melihat bentuk kekuasaan yang ideal. Dari pandangannya mengenai pentingnya
seorang raja filsuf dalam suatu negara menunjukkan keberpihakan Plato pada
sistem politik yang bersifat monarki dibawah kuasa satu orang. Raja filsuf
dianggap sebagai seseorang yang dapat menjaga agar suatu negara dapat bertahan.
Pada sejarahnya, Plato mempelajari bentuk
kekuasaan yang ideal pada saat terjadi perebutan kepemimpinan di Yunani kuno
antara dua negara utama, Sparta dan Athena. Hal ini terjadi pada Perang
Peloponnesos (431-404) yang pada akhirnya memenangkan Sparta. Plato melihat
kekalahan Athena tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal yang disebabkan
ketangguhan pasukan Sparta, namun disebabkan faktor internal lemahnya pasukan
Athena. Bentuk kekuasaan Aristokratis Militeristis yang diterapkan Sparta
menjadikannya lebih unggul dalam mempersatukan negara dibandingkan dengan
kekuasaan demokratis Athena.
“Demokrasi
karena bertanggung jawab atas kelemahan keadaan kota Athena dan oleh karena itu
ia menyerangnya, berpikir bahwa suatu bentuk pemerintahan yang otoriter akan
bisa menjamin stabilitas”.[5]
Menurut Plato demokrasi hanya akan menimbulkan
kekacauan sosial. Hal ini diperoleh sebagai hasil dari kebebasan yang diperoleh
setiap orang. Kebebasan untuk mengkritik siapapun termasuk penguasa. Kondisi
seperti ini akan sulit dikontrol ketika orang saling mengabaikan hak orang
lainnya yg juga memiliki hak yang sama untuk mengkritik. Jika melihat lebih
dalam, hal ini bukannya akan memperkuat negara tersebut, tapi menghasilkan
perdebatan yang tidak terelakkan dari internal negara tersebut. Hal ini yang
terjadi pada Athena ketika terjadi perebutan kekuasaan Yunani kuno.
Dalam istilah Plato, demokrasi itu, “penuh
sesak dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara dan setiap orang dapat berbuat
sekehendak hatinya.”[6]
Hal ini menunjukkan secara jelas ketidakberpihakan Plato pada demokrasi.
Demokrasi menurutnya pada akhirnya hanya akan melahirkan pemerintahan tirani.
Sehingga dalam hal kekuasaan Plato menganggap yang terbaik adalah sistem
monarki.
c.
Hukum
Pada konteks hukum, Plato memandang setiap
orang memiliki hak yang sama di depan hukum. Hal ini dijelaskan Plato pada
bukunya yang berjudul Nomoi. Jika
pada Politeia dia membagi kelas-kelas
kepada Penguasa, Pembantu Penguasa dan Pekerja, yang memiliki hak yang berbeda.
Namun pada Nomoi Plato menempatkan
pengusaha (pembantu penguasa) tidak diatas hukum, melainkan sebagai penjaga
hukum. Pandangan Plato terkait tidak adanya hak atas milik menjadi berbeda pada
Nomoi.
Menurut Plato, hukum adalah sesuatu yang mengatur segala sendi kehidupan manusia
termasuk moral. Plato tetap melihat kebajikan sebagai tujuan dari negara. Moral
menduduki posisi tertinggi dalam hukum. Dengan kata lain, pemberlakuan hukum
harus berdasarkan moral yang menjadi pegangan kehidupan manusia agar memperoleh
keadilan.
3.
Pemikiran
Aristoteles
a.
Negara
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya,
Aristoteles merupakan murid dari Plato. Aristoteles lahir di Macedonia dan
hidup pada masa 384 SM hingga 322 SM. Di awal masa menuju dewasanya dia pergi ke
Athena dan belajar bersama Plato. Aristoteles tumbuh sebagai manusia yang tidak
memiliki batasan dalam hal minat dan pengetahuan. Pengetahuannya selalu
terjewantahkan kedalam bentuk-bentuk tulisan. Jika Plato memiliki buku Politeia sebagai mahakaryanya, Aristoteles
memiliki karya yang diberi nama Politik (Politica).
Aristoteles memiliki pandangan yang
berbeda dengan Plato dalam memahami hakikat negara. Dia berpendapat bahwa
manusia adalah makhluk politik (zoon
Politikon), makhluk sosial. Zoon
politikon diartikan sebagai manusia tidak dapat hidup tanpa bergantung
dengan manusia lainnya. Manusia akan saling membutuhkan satu sama lain di dalam
sebuah masyarakat. Dalam konsep inilah Aristoteles menganggap negara sebagai
sebuah hasil hubungan dari bagian-bagian yang ada dari yang terkecil yaitu,
individu, hingga yang terbesar yaitu kampung. Setiap individu pada hakikatnya
menghendaki kawan dalam hidupnya.
Selanjutnya dalam melihat ketergantungan
yang saling mengikat antara sesama manusia ini yang mendorong terbentuknya
suatu negara. Negara lahir atas dasar kebutuhan warga negaranya. Dalam hal yang
lebih sederhana bahkan Aristoteles menganalogikan negara sebagai sebuah tubuh
manusia yang terdiri atas organ (individu) yang saling bergantung. Gabungan
dari berbagai kelompok individu ini yang kemudian menjadi negara.
Menurut Aristoteles, negara adalah lembaga
politik yang paling berdaulat, meski bukan berarti negara tidak memiliki
batasan kekuasaan. Kekuasaan tertinggi terbentuk karena tujuan yang dimilikinya
adalah untuk mensejahterakan seluruh warga negara, bukan individu-individu
tertentu (seperti Plato).[7]
Tujuan negara ini memberikan gambaran bahwa negara ada untuk memberikan
kebahagiaan bagi seluruh warganya. Negara lahir untuk menjamin kebaikan bagi
rakyatnya. Dengan kata lain, baagi Aristoteles, dia menempatkan rakyat sebagai
pemegang kedaulatan tertinggi.
b.
Kekuasaan
Dalam melihat pandangan Aristoteles terhadap
kekuasaan, dia mengklasifikasikan dalam hal siapa yang selayaknya memegang
kekuasaan dan jenis kekuasaan. Dalam konteks siapa yang layak berkuasa,
Aristoteles berbeda dengan Plato yang membatasi hak atas kepemilikan. Sementara
Aristoteles membenarkan bahwa setiap manusia berhak atas kepemilikan harta dan
barang. Dalam hal ini Aristoteles menganggap hak kepemilikan berkaitan dengan
kebahagiaan. Sebagai tujuan negara yang mengedepankan kebahagiaan rakyatnya,
maka negara tidak melarang bagi manusia untuk memiliki sumber harta.
Namun yang perlu digarisbawahi adalah
Aristoteles tidak pernah membenarkan untuk seseorang menumpuk kekayaannya.
Milik baginya adalah alat; alat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dan alat
supaya ada kesenggangan waktu untuk mencurahkan perhatian kepada masalah
masyarakat. Sebagai alat ia dipergunakan, tetapi tidaklah alat yang menjadi
tujuan.[8]
Dari segi kepemilikan ini, Aristoteles membagikan masyarakat menurut kelompok
kekayaannya yang akan berimbas pada konstitusi ideal. Menurut Aristoteles,
kemiskinan akan mengurangi perhatian seseorang untuk melihat pada
persoalan-persoalan masyarakat. Sedangkan kekayaan yang berlebih akan berimbas
pada seseorang melupakan persoalan-persoalan sekitarnya. Keduanya akan memiliki
keterbatasan waktu untuk mengurusi persoalan yang menyangkut kehidupan
bermasyarakat. Namun, terdapat kelompok menengah dalam jumlah besar yang
memiliki harta secukupnya namun tidak miskin, kelompok ini yang menurut
Aristoteles sebagai kelompok yang tepat memegang kekuasaan.
Berdasarkan hal ini Aristoteles membagi
kekuasaan berdasarkan jumlah orang yang memegang kekuasaan. Bentuk negara yang
benar menurutnya yaitu Monarki, Aristokrasi, dan Politea (Negara
Konstitusional), sedangkan deviasi negara yang benar yaitu Tirani, Oligarki,
dan Demokrasi.[9]
Pada pendapatnya yang paling ideal bagi Aristoteles adalah monarki, karena
diperintah oleh seorang raja filsuf yang dapat berkuasa untuk kepentingan
rakyat. Namun pada kenyataannya monarki dengan raja filsufnya seakan menjadi
hal yang tidak pernah ada dalam masyarakat. Sehingga dia lebih melihat bahwa
aristokrasi lebih realistis untuk diterapkan pada suatu negara. Ketiga bentuk
kekuasaan yang dijabarkan Aristoteles, baginya yang paling memungkinkan untuk
diterapkan dalam realitas adalah politea atau demokrasi. Walaupun demikian, dia
mensyaratkan dengan tegas bahwa penerapan demokrasi harus berdasarkan hukum.
“Karena
dalam demokrasi yang berdasarkan hukum, warga negara mendapat tempat istimewa,
dan disana tidak ada demagog. Tetapi dimana hukum tidak berkuasa, disana
demagog muncul.”[10]
c.
Hukum
Hukum mendapatkan tempat yang tertinggi
dalam pemikiran Aristoteles. Hanya hukum yang dianggap mampu mengawal semua
bentuk kekuasaan yang diterapkan. Pernyataan di atas menggambarkan dengan jelas
bagaimana kedudukan hukum pada sebuah sistem politik demokrasi. Menurut
Aristoteles, apapun bentuk kekuasaan yang diterapkan apakah itu demokrasi
maupun oligarki, ketika hukum dijadikan sebagai panduan dalam pengambilan
keputusan yang patuh terhadap hukum, maka kebajikan akan ada dalam negara
tersebut.
Dalam tujuan negara menurut Aristoteles
adalah ketika kebajikan dapat dirasakan oleh rakyat. Kebajikan hanya akan
terpenuhi ketika keadilan diberlakukan dengan benar. Seorang penguasa akan
dikatakan adil jika hukum ditegakkan. Keadilan adalah sesuatu yang berkaitan dengan
moral.
Aristoteles tidak mengartikan keadilan
sebagai sesuatu yang berhubungan dengan persamaan. Dia lebih mengedepankan
persamaan hak setiap orang pada ukuran keseimbangan bukan pada persamaan mutlak
(jumlah). Keadilan adalah ketika seseorang merasakan hak yang sama dengan orang
lain, dia tidak mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya untuk menjadi
miliknya. Yang paling penting adalah dia menganggap hukum harus adil dan
seimbang, bahkan pada masanya Aristoteles menganggap kedudukan adalah sesuatu
yang bisa dirasakan oleh setiap warga negara yang dapat menjalankannya dengan
adil.
Aristoteles melihat keadilan dari sudut
hak, sedangkan Plato memandangnya dari sudut kewajiban.[11]
Ini merupakan perbedaan yang jelas ketika keadilan merupakan hak maka dibutuhkan
hukum yang tegas agar hak tersebut dapat terjaga dengan baik. Sedangkan ketika
keadilan adalah kewajiban memberikan peran yang lebih besar kepada negara untuk
mewujudkan keadilan bagi rakyatnya, tanpa melihat ada hak yang dimiliki oleh
rakyat.
4.
Kesimpulan
Dari hasil
pemaparan pemikiran Plato dan Aristoteles tentang negara, kekuasaan, dan hukum yang
telah dibahas diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a. Pemikiran
Plato
1. Negara
menurut Plato harus memberikan keadilan kepada warga negaranya. Hal tersebut
hanya dapat diwujudkan oleh seorang The
Philosopher King.
2. Bentuk
Kekuasaan yang terbaik adalah Monarki, karena dianggap yang mampu menjaga
stabilitas negara dan mempertahankan kedaulatannya. Hal ini terbukti dengan
kokohnya Sparta dengan sistem kekuasaan yang Aristokrasi Militeristik.
3. Hukum
menempatkan moral sebagai hal tertinggi yang harus dijaga serta menegakkan
hukum artinya mewujudkan keadilan bagi rakyat.
b. Pemikiran
Aristoteles
1. Negara
adalah lembaga kedaulatan tertinggi yang bertujuan untuk mensejahterakan
rakyatnya.
2. Kekuasaan
yang paling ideal adalah monarki, namun sulit untuk diterapkan pada realitas.
Sehingga Aristoteles menilai bentuk kekuasaan yang terbaik yang dapat
diterapkan adalah aristokrasi.
3. Hukum
ditempatkan diatas segalanya. Penguasa yang terbaik adalah yang tunduk dan
patuh pada hukum. Hukum ada untuk memberikan keadilan bagi rakyat.
[1] Deliar Noer. Pemikiran
Politik di Negeri Barat. Jakarta: Rajawali. 1982. Hlm. 3.
[2] Ibid. hlm. 4-5.
[3] Sir Ernest Barker. The
Political Thought of Plato and Aristotle. New York: Dover Publications.
1959. hlm. 13.
[4] Ahmad Suhelmi. Pemikiran
Politik Barat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2001. Hlm. 38.
[5] D.D. Raphael. Hobbes, Morals,
Politics. London: George Allen and Unwin. 1977. Hlm. 16.
[6] Ahmad Suhelmi. Op.cit. hlm.
43.
[7] Ibid. hlm. 45.
[8] Deliar Noer. Op.cit. hlm.
30.
[9] Otto Gusti Madung. Filsafat
Politik; Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis. Maumere: Ledalero.
2013. Hlm. XV.
[10] Aristoteles. Politik. New
York: Oxford University Press. 1995. Poin. 1292.
[11] Deliar Noer. Op.cit. Hlm.
35.
Daftar Pustaka
Aristoteles. Politik. 1292.
Barker Ernest, 1959, The Political Thought of Plato and Aristotle, New York: Dover Publications.
Gusti Madung, Otto, 2013, Filsafat Politik: Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis, Jakarta, PT Ledalero.
Noer, Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: CV. Rajawali.
Raphael, D.D, 1977, Hobbes, Morals, Politics, London: George Allen and Unwin.
Suhelmi, Ahmad, 2001. Pemikiran Politik Barat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Posting Komentar