Minggu, 21 Mei 2017

Islam dan Terorisme: Upaya Merusak Citra

Oleh: Andriansyah

Di Abad 21, sejak peradaban Barat mulai bangkit dengan meninggalkan Tuhan dan menyegelnya di pojok gereja, mereka mulai memulai tabir baru di pentas dunia. Beranjak dari zaman modern yang mencari kebenaran menuju zaman post-modern yang mempertanyakan kebenaran, peradaban Barat kembali mencari musuh setelah Komunisme di tundukkan sejak berakhirnya perang dingin melawan Uni Soviet. Walau Komunisme merupakan bahaya laten yang tak bisa di cabut sampai ke akar-akarnya, bagi Barat bahaya Komunisme sudah bukan menjadi ancaman utama bagi hegemoni peradaban Barat. Dalam pertualangannya menguasai dunia setelah menjadi pemenang di Dunia ketiga, Barat dengan post-modernnya kini mencari musuh baru untuk menjadi pijakan setiap kebijakannya.


Sejalan dengan proses menguasai dunia, peradaban Barat terus mencari musuh pengganti dari Komunisme di dunia ketiga. Pada tahun 1998, seorang Profesor politik dari Amerika menerbitkan sebuah buku yang menggemparkan dunia. Dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and The Remaking of The New World Order, Prof. Samuel P. Huntington menyatakan bahwa musuh Peradaban Barat saat ini adalah Islam. Akibatnya, telah terjadi benturan antara peradaban Barat dan Islam. Pada tahun-tahun selanjutnya buku ini menjadi rujukan pemerintahan Amerika untuk menyusun strategi yang menempatkan Islam sebagai musuh yang menjadi penghalang hegemoni peradaban Barat di dunia. Maka tak heran kita bagaimana respon Barat yang sangat memojokkan terhadap Islam.
            Namun ternyata, apa yang dikemukakan Huntington pada 1998 tentang benturan peradaban Barat dan Islam, telah lebih dulu di kemukakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (S.M.N. Al-Attas) pada tahun 1970-an. Prof. Al-Attas menyebutnya a Permanent Confrontation Between West and Islam. Menurut Prof. Al-Attas, konfrontasi abadi ini dikarenakan hakikat kedua peradaban bertentangan pada intinya. Hal ini semakin jelas bagaimana media-media asuhan Barat mem-framing/mencitrakan Islam sebagai monster yang harus di basmi.
            Salah satu upaya yang bisa dibilang efektif untuk memperburuk citra Islam di mata dunia, adalah dengan menciptakan kelompok yang melabeli diri mereka representasi dari Islam namun menciptakan teror bagi manusia. Di zaman sekarang mereka di sebut teroris. Teroris dalam framing media harus yang membunuh dengan memekikkan takbir, membawa slogan jihad untuk membunuh, serta targetnya orang kafir atau siapa pun yang dekat dengan orang kafir yang tidak sepaham dengan kelompok teroris ini. Mottonya lebih kurang sama dengan kolonialisme ala Barat, you are with us, or against us.
            Seperti yang pernah di katakan Derrida, zaman sekarang yang paling penting adalah bahasa, di dalam bahasa yang terpenting adalah kata, dan di dalam kata ada makna. Dalam post-modern, mengubah makna-makna yang sudah ada sesuai dengan kepentingan Barat. Di sinilah permainan kata terjadi.
            Dalam kasus istilah terorisme, monopoli makna juga terjadi. Dalam bahasa Inggris, terrorize berarti menakut-nakuti, mengancam orang lain supaya takut. Akan tetapi definisi ini akan bermasalah jika di pukul rata untuk semua yang menakut-nakuti atau mengancam orang lain. Seperti kata Wittgenstein,, “Let the use of a word teach you its meaning” (biarkan penggunaan suatu kata menentukan maknanya). Maka, ketika orang tua menakut-nakuti anaknya agar tidak malas belajar, tidak bisa langsung di beri label teroris. Begitu pun ketika aparat keamanan mengancam perampok, apakah bisa aparat keamanan disebut teroris? Namun kenapa sangat cepat kita temui penyebutan teroris pada orang Islam yang bahkan tidak mengancam atau menakuti orang lain, tapi dibuat menakutkan oleh media? Di sinilah permainan maknanya.
            Umat Islam harus peka terhadap makna dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, terlebih dalam menyikapi isu terorisme ini. Apa yang di citrakan oleh media-media mainstream tentang kasus-kasus terorisme yang menyudutkan umat Islam pada dasarnya hanyalah sebuah konspirasi Barat menjatuhkan Islam. Karena pada hakikatnya, Islam sangat bertentangan dengan terorisme. Upaya mencitrakan terorisme dengan Islam sebenarnya sangat bertentangan dengan citra hakiki Islam itu sendiri. Dalam Surah Al-Maidah Ayat 32 Allah berfirman yang artinya:
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Q.S. 5:32).

            Dalam ayat di atas jelas Islam tidak pernah membolehkan pembunuhan terhadap orang tidak bersalah, dan memberikan ancaman berat bagi yang melanggarnya. Sehingga mencitrakan Islam dengan terorisme adalah kesalahan fatal dan suatu pemburukan citra sebenarnya. Islam yang telah sempurna sejak 14 abad yang lalu merupakan satu-satunya agama suci yang menebarkan perdamaian di mana pun dia berkembang. Terbukti ketika Islam memasuki kota Mekkah yang awalnya kacau balau dengan kebiasaan Jahiliyahnya, berubah menjadi kota suci penuh kesejahteraan. Ketika Islam memasuki Persia yang sedang kacau pemerintahannya, berhasil mengubah Persia menjadi pusat peradaban Islam saat itu. Begitu pun ketika Islam menguasai Andalusia, Islam berhasil mengubah Andalusia sebagai pusat peradaban ilmu dunia saat itu. Maka ketika mengingat Islam, sepatutnya yang terbayang adalah sebuah agama yang penuh akan kedamaian dan kebahagiaan, di dunia dan Akhirat. Waullahu’alam.

Credit Image: DesignDakwah

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search