Oleh:
Andriansyah
Di Abad
21, sejak peradaban Barat mulai bangkit dengan meninggalkan Tuhan dan
menyegelnya di pojok gereja, mereka mulai memulai tabir baru di pentas dunia. Beranjak
dari zaman modern yang mencari kebenaran menuju zaman post-modern yang mempertanyakan
kebenaran, peradaban Barat kembali mencari musuh setelah Komunisme di tundukkan
sejak berakhirnya perang dingin melawan Uni Soviet. Walau Komunisme merupakan
bahaya laten yang tak bisa di cabut sampai ke akar-akarnya, bagi Barat bahaya
Komunisme sudah bukan menjadi ancaman utama bagi hegemoni peradaban Barat.
Dalam pertualangannya menguasai dunia setelah menjadi pemenang di Dunia ketiga,
Barat dengan post-modernnya kini mencari musuh baru untuk menjadi pijakan
setiap kebijakannya.
Namun ternyata, apa yang dikemukakan
Huntington pada 1998 tentang benturan peradaban Barat dan Islam, telah lebih
dulu di kemukakan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas (S.M.N. Al-Attas)
pada tahun 1970-an. Prof. Al-Attas menyebutnya a Permanent Confrontation
Between West and Islam. Menurut Prof. Al-Attas, konfrontasi abadi ini
dikarenakan hakikat kedua peradaban bertentangan pada intinya. Hal ini semakin
jelas bagaimana media-media asuhan Barat mem-framing/mencitrakan Islam sebagai monster
yang harus di basmi.
Salah satu upaya yang bisa dibilang
efektif untuk memperburuk citra Islam di mata dunia, adalah dengan menciptakan
kelompok yang melabeli diri mereka representasi dari Islam namun menciptakan
teror bagi manusia. Di zaman sekarang mereka di sebut teroris. Teroris dalam framing
media harus yang membunuh dengan memekikkan takbir, membawa slogan jihad untuk
membunuh, serta targetnya orang kafir atau siapa pun yang dekat dengan orang
kafir yang tidak sepaham dengan kelompok teroris ini. Mottonya lebih kurang
sama dengan kolonialisme ala Barat, you are with us, or against us.
Seperti yang pernah di katakan
Derrida, zaman sekarang yang paling penting adalah bahasa, di dalam bahasa yang
terpenting adalah kata, dan di dalam kata ada makna. Dalam post-modern,
mengubah makna-makna yang sudah ada sesuai dengan kepentingan Barat. Di sinilah
permainan kata terjadi.
Dalam kasus istilah terorisme,
monopoli makna juga terjadi. Dalam bahasa Inggris, terrorize berarti
menakut-nakuti, mengancam orang lain supaya takut. Akan tetapi definisi ini
akan bermasalah jika di pukul rata untuk semua yang menakut-nakuti atau mengancam
orang lain. Seperti kata Wittgenstein,, “Let the use of a word teach you its
meaning” (biarkan penggunaan suatu kata menentukan maknanya). Maka, ketika
orang tua menakut-nakuti anaknya agar tidak malas belajar, tidak bisa langsung
di beri label teroris. Begitu pun ketika aparat keamanan mengancam perampok,
apakah bisa aparat keamanan disebut teroris? Namun kenapa sangat cepat kita
temui penyebutan teroris pada orang Islam yang bahkan tidak mengancam atau
menakuti orang lain, tapi dibuat menakutkan oleh media? Di sinilah permainan maknanya.
Umat Islam harus peka terhadap makna
dan kebenaran yang terkandung di dalamnya, terlebih dalam menyikapi isu
terorisme ini. Apa yang di citrakan oleh media-media mainstream tentang
kasus-kasus terorisme yang menyudutkan umat Islam pada dasarnya hanyalah sebuah
konspirasi Barat menjatuhkan Islam. Karena pada hakikatnya, Islam sangat
bertentangan dengan terorisme. Upaya mencitrakan terorisme dengan Islam sebenarnya
sangat bertentangan dengan citra hakiki Islam itu sendiri. Dalam Surah Al-Maidah
Ayat 32 Allah berfirman yang artinya:
“Oleh
karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barang siapa
yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain,
atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah
membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan
sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di antara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi.” (Q.S.
5:32).
Dalam ayat di atas jelas Islam tidak
pernah membolehkan pembunuhan terhadap orang tidak bersalah, dan memberikan
ancaman berat bagi yang melanggarnya. Sehingga mencitrakan Islam dengan terorisme
adalah kesalahan fatal dan suatu pemburukan citra sebenarnya. Islam yang telah
sempurna sejak 14 abad yang lalu merupakan satu-satunya agama suci yang
menebarkan perdamaian di mana pun dia berkembang. Terbukti ketika Islam
memasuki kota Mekkah yang awalnya kacau balau dengan kebiasaan Jahiliyahnya,
berubah menjadi kota suci penuh kesejahteraan. Ketika Islam memasuki Persia
yang sedang kacau pemerintahannya, berhasil mengubah Persia menjadi pusat
peradaban Islam saat itu. Begitu pun ketika Islam menguasai Andalusia, Islam
berhasil mengubah Andalusia sebagai pusat peradaban ilmu dunia saat itu. Maka ketika
mengingat Islam, sepatutnya yang terbayang adalah sebuah agama yang penuh akan
kedamaian dan kebahagiaan, di dunia dan Akhirat. Waullahu’alam.
Credit Image: DesignDakwah
Credit Image: DesignDakwah
Posting Komentar