Jumat, 30 Desember 2016

Pemilihan Pemimpin Menurut Imam al-Mawardi

Oleh: Andriansyah[1]

Nama Imam al-Mawardi telah tercatat dalam sejarah keilmuan Islam sebagai Ulama yang menulis karya-karya monumental seperti al-Iqna’, al-Ahkam as-Suthaniyyah, al-Hawi, Qawanin al-Wuzara’, Tashil an-Nadhr, dan Ta’jil ad-Dzafr. Hingga saat ini warisan keilmuan beliau terus dikaji dan menjadi sumber referensi keilmuan Islam. Semua ini membuktikkan bahwa keilmuan beliau jauh melampaui masa hidupnya. Tinggal kini waktunya apakah kita akan mempelajari keindahan warisan keilmuan beliau atau mengabaikannya? 

Dalam kesempatan ini, saya akan coba membahas sebuah mahakarya, Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah karya Imam al-Mawardi dalam melihat fenomena pemilihan pemimpin yang ironinya sekarang banyak umat Islam yang melupakan identitas keilmuannya sendiri. Hal ini juga bertujuan mengangkat kembali keilmuan Islam mengenai sistem pemerintahannya sendiri. Tulisan singkat ini juga dimaksudkan untuk berusaha menjawab tuduhan-tuduhan kaum sekular atau sebangsanya yang mengatakan bahwa Islam tidak mengatur sistem pemerintahan,kepemimpinan, dan sejenisnya. Dikatakan oleh mereka bahwa, Islam hanya mengajarkan cara beribadah tanpa melibatkan politik. Akibatnya banyak umat Islam yang terjebak dengan pemikiran menyesatkan ini dan menjadi tidak peduli terhadap ilmu pemerintahan Islam.

Dalam penulisan kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah, Imam al-Mawardi sama sekali tidak terpengaruh dengan teori-teori filsuf Yunani seperti Socrates, Plato, Aritoteles atau filsuf Yunani lainnya yang ketika itu karya-karya filsuf Yunani sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Imam al-Mawardi menggunakan al-Qur’an, as-Sunnah,‘ijma dan Qiyas 
sebagaimana dalil yang lazim di kalangan Ulama mazhab Syafi’i sebagai dasar penulisan al-Ahkam as-Sulthaniyyah.

Dalam masalah pemilihan pemimpin, Imam al-Mawardi menjelaskan bahwa pengangkatan Imamah (kepemimpinan) dapat dilakukan dengan dua cara: pertama, pemilihan oleh ahlul ‘aqdi wal hal, kedua, penunjukan oleh imam (Khalifah) sebelumnya.  Ahlul ‘aqdi wal hal dalam pengertian singkatnya adalah kumpulan orang yang memiliki otoritas dan kecakapan ilmu yang menjadikannya mampu mengetahui orang yang berhak diangkat sebagai imam (pemimpin). Di zaman sekarang, karena pengaruh peradaban Barat, hal seperti ini mungkin di anggap kuno, padahal sejatinya cara yang dikemukakan Imam al-Mawardi telah mencetuskan sebuah kemajuan dalam sistem kepemimpinan yang adil.

Dalam proses pemilihan Pemimpin (Khalifah), sebelum ahlul ‘aqdi wal hal mengangkat seorang khalifah, hendaknya mereka mempelajari dulu kriteria orang-orang yang memenuhi syarat untuk di angkat sebagai pemimpin. Mereka harus melihat setiap potensi dan memilih diantara calon pemimpin yang paling banyak kelebihan, paling sempurna syarat-syaratnya, dan paling mudah ditaati oleh rakyat. Apabila di antara calon pemimpin yang layak dipilih ada yang ahli dalam ber-ijtihad, maka dia berhak ditawarkan jabatan pemimpin. Tidak ada paksaan dalam hal ini. Hal seperti ini beda jauh dengan sistem demokrasi dimana yang paling penting itu adalah jumlah pemilih. Dalam demokrasi yang penting kuantitas dibandingkan kualitas, sedangkan dalam Islam yang penting Kualitas dibanding kuantitas.

Dalam kondisi tertentu dimana terdapat 2 orang yang layak sebagai pemimpin. Apabila yang satunya lebih berani sedangkan yang satunya lagi lebih cerdas keilmuannya, maka yang lebih layak dipilih adalah sosok yang di butuhkan pada kondisi saat itu. Misalnya saat itu sedang merebaknya pemberontakan, konflik dan upaya pemisahan wilayah, maka saat itu dibutuhkan pemimpin yang lebih berani. Sebaliknya, apabila pada waktu itu sedang menjamurnya aliran sesat, wacana pemikiran yang berbahaya maka yang layak adalah sosok yang lebih memiliki ilmu.
Imam al-Mawardi juga menjelaskan kondisi ketika terjadi perebutan kekuasaan antara 2 orang yang memenuhi syarat. Para fukaha (al-‘ulama’) masih belum sepakat mengenai kasus ini. Sebagian ulama berpendapat keduanya harus di undi, dan sebagian ulama lainnya berpendapat kalau kelompok pemilih (ahlul ‘aqdi wal hal) berusaha untuk memilih salah satu di antara keduanya tanpa melakukan undian.

Terdapat perbedaan pendapat para ulama dalam penetapan kepemimpinan dan keabsahannya yang tidak melalui jalur akad dan pemilihan. Sebagian ulama ada yang berpendapat sah bilamana kepemimpinan ditetapkan tanpa kelompok pemilih, akan tetapi mayoritas ulama berpendapat tidak sah tanpa di pilih oleh kelompok pemilih. Upaya melengserkan Khalifah dilarang jika sang Khalifah masih memenuhi syaratnya.

Penjelasan mendalam oleh Imam al-Mawardi telah membuktikkan, Islam sebagai agama Rahmatan lil’alamin yang mengatur segala sendi kehidupan. Penjelasan diatas hanya sekelumit kecil. Hal ini membuktikan pula bahwa tuduhan Islam tidak mengatur sistem pemerintahan adalah sebuah kebohongan. Pada dasarnya, dengan terus mempelajari literatur-literatur bacaan keilmuan Islam, maka secara perlahan kita akan mengenal luasnya samudra khazanah keilmuan Islam. Minimal sekali kita harus berbangga dengan apa yang diwariskan Rasulullah SAW, para sahabat dan Ulama terdahulu sampai sekarang. Oleh karena itulah, saya berharap dengan adanya tulisan ini mampu membangkitkan kembali semangat menghidupkan tradisi keilmuan Islam dalam setiap sendi kehidupan umat Islam.



[1] Mahasiswa Ilmu Pemerintahan FISIP UNSYIAH

Photo credit: VinothChandar via VisualHunt / CC BY

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search