Kamis, 05 Januari 2017

Teori Kontrak Sosial Thomas Hobbes

1.      Pendahuluan
Makalah ini membahas pemikiran kontrak sosial dari Thomas Hobbes. Pemikiran Hobbes menganggap negara sebagai Leviathan. Leviathan diartikan sebagai monster yang ganas, menakutkan dan kejam yang ada pada kisah perjanjian lama. Makluk ini bukan hanya ditakuti namun juga perintahnya selalu dipatuhi. Kemampuannya yang dapat mengancam keberadaan makhluk lainnya.
Negara kekuasaan menimbulkan rasa takut bagi rakyatnya yang melanggar hukum. Jika warga negara melanggar hukum, negara Leviathan tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati. Negara diposisikan sebagai institusi yang memiliki kekuatan tak terbatas. Negara dapat menentukan keputusan-keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan lainnya. Bagi Hobbes, Negara yang punya kekuasaan tak terbatas merupakan negara terbaik. Apa yang mendasari Hobbes berpikir demikian? Dan mengapa negara harus memiliki kekuasaan yang absolut dan mengancam individu-individu untuk mewujudkan perdamaian dan menghindari perang?
Pada makalah ini akan membahas secara jelas bagaimana pemikiran politik dari Hobbes. Kontrak sosial yang lahir dari pemikiran Hobbes didorong oleh kondisi sosio-historis yang dialami oleh Hobbes. Keadaan negara yang sedang perang dan tidak damai saat itu menjadi penyebab munculnya pemikiran Hobbes untuk harus adanya negara kekuasaan absolut yang mampu mengontrol kerusuhan-kerusuhan yang terjadi. Untuk lebih jelas, penulis akan membagi alur lahirnya pemikiran kontrak sosial Hobbes dan pandangan Hobbes dalam melihat negara. Selain itu, penulis akan melihat konteks kekuasaan negara yang ada di Indonesia dengan melihat sudut pandang kontrak sosial yang disampaikan oleh Hobbes.

2.      Latar Belakang Pemikiran Thomas Hobbes
Thomas Hobbes lahir pada tanggal 5 April 1588 di Malmesbury, Inggris dan meninggal dunia pada tanggal 3 Desember 1679. Dalam Vita Carmine Expressa (1672), Hobbes menulis bahwa ibunya melahirkan anak kembar: Dia sendiri dan Ketakutan (me metumque simul).[1] Ibu Hobbes melahirkan secara prematur Hobbes karena sang Ibu takut akan armada angkatan laut Spanyol yang siap menggempur Inggris. Ketika dirinya lahir, Ratu Elizabeth I sedang sibuk menaklukkan golongan Gereja Katolisisme. Penganut agama ini ditindas dengan kejam. Terjadi pula penaklukan Irlandia dan Skotlandia menjadi bagian dari Inggris Raya.[2] Hal ini menggambarkan kondisi ketakutan yang selalu mengikuti setiap karya dan hidup Hobbes.
Hobbes dilahirkan dalam keluarga miskin. Ayahnya seorang pendeta, mengirimkannya pada pamannya yang kaya. Pamannya yang membesarkan dan mendidik Hobbes. Atas bantuan pamannya Hobbes melanjutkan studi di Universitas Oxford. Melalui Oxford, Hobbes dapat mempelajari pemikiran politik dari Aristoteles yang kemudian dikritiknya.
Pengejaran Parlemen terhadap dirinya mendorong Hobbes untuk mengasingkan diri ke Perancis tahun 1640. Dari tahun 1640-1652 Hobbes berada dalam pengasingan di Perancis. Selama masa ini ia menerbitkan salah satu karya pentingnya dalam bidang politik yang berjudul De cive (1641). Perjalan Hobbes dengan karya-karyanya menjadi perhatian yang diminati. Ada suatu masa ketika karyanya De cive lebih diminati dibandingkan karyanya Leviathan. Tahun 1646-1647 Hobbes pernah menjadi guru matematika  Prince of Wales yang juga sedang berada dalam pengasingan di Paris.
Hobbes pernah melakukan perjalanan keliling Eropa dan selama itu Hobbes berkenalan dengan banyak tokoh pemikir dan ilmuwan abad ke-17 seperti Galileo Galilei, W. Harvey, Rene Descartes, Franscis Bacon, dan tokoh-tokoh lainnya. Pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut turut mempengaruhi pemikiran Hobbes mengenai manusia dan perilakunya. Hal ini menunjukkan pemikiran Hobbes atas prosesnya belajar dan mengkaji pemikiran terdahulu dari tokoh-tokoh Eropa.
Banyak peristiwa yang menjadi latar belakang pemikiran Hobbes, salah satunya pertentangan antara Gereja Anglikan resmi, kaum puritan, dan golongan Katolik serta konfrontasi antara Raja dan Parlemen. Semua ini berlangsung ketika Hobbes menginjak dewasa hingga tua usianya. Pada tahun 1649, Hobbes menyaksikan konflik antara raja Charles I dengan Parlemen yang berakhir dengan kekalahan Raja. Akibat kekalahannya raja dipenggal atas perintah Cromwell.[3] Konflik yang dirasakan secara langsung oleh Hobbes ini juga mempengaruhi pemikirannya dalam melihat kekuasaan negara. Kekacauan politik menjadi cerminan tidak adanya stabilitas politik suatu negara. Bagi Hobbes tidak adanya stabilitas politik hanya akan melahirkan konflik terhadap kekuasaan.
Berbagai karya Hobbes sangat luas dan mengagumkan. Mulai dari refleksi persoalan-persoalan filsafat, epistemologi, matematika, geometri, dan fisika hingga karya seputar etika, filsafat politik dan analisis tentang perang saudara yang melanda Inggris pada waktu itu. Sebagaimana Rene Descartes, Hobbes pun mengkritik dan melampaui filsafat skolastik yang mendominasi seluruh filsafat abad pertengahan dan awal zaman baru. Keduanya membangun argumentasi filosofis atas dasar akal budi manusia dan meninggalkan argumentasi otoritatif seperti pernah dikembangkan Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquinas.[4]
Namun dibandingkan dengan Descartes, Thomas Hobbes masih jauh lebih radikal dalam berargumentasi dan membela otonomi filsafat berhadapan dengan teologi. Jika teori pengetahuan Descartes masih berpijak pada eksistensi Allah sebagai dasar terakhir kepastian dan kebenaran, filsafat politik Hobbes boleh dipandang sebagai rancangan sistematis pertama konsep filsafat politik sekuler. Prosedur argumentasi yang individualistis dan semata-mata berpijak pada akal budi murni manusia menghantar filsafat politik Hobbes meninggalkan aristotelianisme serta konsep tatanan politis kosmologis dan teologis abad pertengahan.[5]
Berbagai macam kondisi sosio-historis yang dialami Hobbes mengantarkan pemikiran Hobbes tentang Negara dan Kekuasaan. Pandangan Hobbes melihat negara sebagai sosok Leviathan, monster yang ditakuti, merupakan hasil refleksi kehidupan yang dialami Hobbes. Keberadaan state of nature (kondisi alamiah) manusia, konflik kekuasaan antara raja, gereja dan parlemen, serta rusaknya tatanan kenegaraan saat itu membutuhkan suatu kekuasaan tak terbatas yang dapat menjaga stabilitas politik yaitu Penguasa. Hal ini yang kemudian akan penulis bahas selanjutnya mengenai pemikiran Hobbes terkait kondisi alamiah manusia serta bagaimana negara bisa terbentuk dengan adanya kontrak sosial.

3.      State of Nature dan Terbentuknya Negara
Pada buku Leviathan yang ditulis oleh Hobbes mencerminkan pemikiran Hobbes sebagai manusia yang mendapatkan pengaruh  dari manusia dan pergaulan hidup. Pergaulan hidup yang dialami Hobbes dengan penuh rasa takut dan bertindak hanya berdasar kepentingan sendiri.
Menurut Hobbes, akal budi mewajibkan setiap manusia untuk mempertahankan hidup dan menjauhi segala sesuatu yang membahayakan hidup. Manusia menjalankan tuntutan akal budi atas dasar kebutuhan  kodrati untuk survival. Aturan-aturan perilaku yang mewujudkan tuntutan rasionalitas tersebut menyebutkan beberapa sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tuntutan akal budi itu berupa aturan kelicikan atau kelihaian yang tidak bersifat kategoris tetapi dianjurkan untuk ditaati untuk dapat bertahan hidup: setiap orang tahu bahwa keadaan dimana aturan ini berlaku jauh lebih menguntungkan dan lebih baik dari posisi alamiah.
Pandangan Hobbes ini setiap manusia memiliki hak untuk menggunakan akal nalarnya dalam memenuhi kebutuhan dirinya sendiri. Pemikiran Hobbes mengenai penggunaan nalar ini dipengaruhi oleh tokoh penting Francis Bacon. Persahabatannya dengan tokoh empiris Inggris ini menyadarkan Hobbes akan pentingnya penggunaan nalar dan metode-metode eksperimental dalam dunia ilmu pengetahuan. Hobbes juga terpengaruh gagasan politik otoritarianisme Bacon.[6]
Prinsip dasar aturan yang merupakan produk dari kemampuan dalam mengolah pengalaman kondisi alamiah adalah aturan perdamaian bersyarat: “Setiap orang mengusahakan perdamaian sejauh masih ada harapan untuk itu. Andaikata perdamaian tak dapat lagi diciptakan, ia boleh mengangkat senjata, menggunakan kekerasan atau berperang.”[7] Aturan ini tidak memberikan solusi bagaimana menciptakan perdamaian. Setiap orang memiliki hak dasar masing-masing untuk menjadi apapun sesuai kehendak dirinya. Pada akhirnya hanya menjelaskan sebab sebagai faktor konsekuensi umum dari perang. Kondisi ini didasari pandangan Hobbes yang menganggap setiap manusia bersaing menggunakan usahanya masing-masing untuk mendapatkan kebahagiaan melalui akal nalarnnya. Persaingan ini dapat berakhir pada kebahagiaan bagi yang menang dan penderitaan bagi yang kalah. Mereka yang kalah akan tersingkir dan yang menang akan berkuasa.
Dalam hal ini Hobbes menegaskan bahwa persaingan rangsangan-rangsangan alamiah untuk menggunakan kekuasaan dalam diri manusia. Dalam menghadapi persaingan, manusia terdorong untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya. Kecenderungan itu semakin kuat mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk pemburu kekuasaan. Berdasarkan asumsi itu, Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai oleh persaingan dan konflik kekuasaan.[8] Pada kondisi ini kekerasan menjadi senjata utama dalam melakukan persaingan. Hingga Hobbes kemudian menganggap secara alamiah akan saling memerangi manusia lainnya. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan berperang melawan semua (bellum omnium contra omnes).
Kewajiban kodrati (lex naturalis) kedua menjelaskan bahwa: “Setiap orang harus secara sukarela menanggalkan haknya atas semua (ius omnium in omnia), dengan syarat bahwa yang lain bersedia bekerja sama, sejauh hal itu dipandang penting demi menciptakan perdamaian serta tujuan survival; ia harus menciptakan ruang bebas untuk orang lain sebagaimana orang lain juga memungkinkan kebebasan untuknya.[9] Aturan ini lahir dari pikiran Hobbes mengenai perang yang diartikan sebagai bellum omni contra omni. Peperangan sebagai akibat persaingan antar manusia yang memiliki haknya secara mutlak. Pada dasarnya jika semua manusia beranggapan bahwa kehidupannya tidak bisa diganggu oleh manusia lain, maka konflik dan perang antara semua manusia juga tidak akan terselesaikan. Untuk itu yang harus dilakukan adalah menjaga jarak dari semua manusia lainnya. Kondisi saling menjaga jarak antar manusia hanya akan tercipta jika adanya ketersalingan. Dengan demikian ketidakseimbangan yang dapat membahayakan perdamaian dapat terhindari.
Ketersalingan ini merupakan kewajiban umum bagi individu-individu untuk bersifat kooperatif-rasional, membuat kontrak dan membatasi kebebasan kodrati atas dasar kesepakatan bersama. Hal ini berkaitan dengan janji untuk tidak saling menyerang, kewajiban-kewajiban kontrak untuk saling menghormati hidup dan hak milik. Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati bersama ini harus dijalankan secara disiplin dan tidak dilanggar. Dengan demikian bunyi kewajiban kodrati yang ketiga menurut Hobbes: Abgeschlossene Vertrage sind zu halten – “Kontrak yang sudah dibuat harus ditaati” (pacta sunt servanda).[10]
Kewajiban untuk mematuhi kontrak yang telah dibuat ini belum terjamin akan terlaksana hanya dengan menggunakan akal budi. Dengan akal budi saja tidak akan menentukan semua orang akan bersikap menjaga perdamaian dan kerjasama. Untuk itu bagi Hobbes membutuhkan instansi kekuasaan yang mengarahkan agar aturan-aturan yang telah dibuat dapat dijaga. Setiap individu menyerahkan haknya sepenuhnya secara sukarela kepada institusi dan memberikan kewenangan untuk melakukan apapun terhadap dirinya.
            “Saya mewenangkan dan menyerahkan hak saya atas pengaturan diri saya kepada orang ini atau kepada sekumpulan orang ini, dengan syarat ini bahwa anda melepaskan hak anda kepadanya dan mewenangkan semua tindakannya dalam perilaku sama”[11]
Menurut Hobbes negara harus bersifat absolut. Kekuasaannya harus berpusat pada satu orang. Kekuasaan yang terbelah hanya akan menimbulkan konflik, anarki, perang sipil dalam negara. Penguasa harus memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menjaga stabilitas dan menjaga agar kontrak sosial yang dibangun tidak dilanggar oleh manusia. Hobbes tidak menyangkal bahwa kekuasaan absolut pada satu orang akan melahirkan kekuasaan yang bersifat despotis. Namun demikian, bagi Hobbes negara yang bersifat despotis lebih baik jika dibandingkan dengan konflik yang akan terjadi ketika kekuasaan negara terbelah. Bahkan sampai pada pergantian penguasa hendaknya diserahkan kepada penguasa itu sendiri. Ini akan menjamin kelanjutan hidup bersama yang telah dibentuk dengan perjanjian.[12]
Kontrak sosial Thomas Hobbes menjelaskan secara jelas bahwa kekuasaan yang terbaik menurut Hobbes adalah yang bersifat absolut. Monarkhi absolut memberikan kekuasaan tidak terbatas kepada penguasa untuk memegang peranan penting dalam mengelola stabilitas negara sesuai dengan kehendak penguasa. Hobbes meyakini bahwa kekuasaan yang dipegang oleh satu orang akan lebih mudah diperbaiki jika mengalami kerusakan dibandingkan dengan kekuasaan yang dipegang oleh banyak orang. Untuk mengontrol kegaduhan dan konflik yang terjadi pada suatu negara dibutuhkan kekuasaan absolut yang bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.
Konsepsi Hobbes tentang kedaulatan mengakui wilayah aktivitas privat yang relatif tetap bebas dari intervensi negara. Wilayah kebebasan individu ini mencakup hak “jual beli, dan melakukan kontrak dengan orang lain, memilih tempat tinggal, penghasilan, cara kehidupan, dan menyekolahkan anak-anak mereka ke tempat yang mereka anggap cocok.[13]

4.      Kekuasaan Orde Baru di Indonesia
Dalam melihat pemikiran Hobbes tentang kekuasaan dan negara yang absolut, di Indonesia bisa dilihat pada masa orde baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Kekuasaan Presiden Soeharto yang cenderung otoriter dan terpimpin, di bawah kekuasaannya memiliki kesamaan dengan pemikiran Hobbes yang melihat harus adanya pemimpin yang absolut. Menurut Hobbes penguasa tangan besi dibutuhkan agar stabilitas negara terwujud dan untuk menghindari konflik yang terjadi. Latar belakang sosio historis yang dialami Hobbes seperti yang dibahas sebelumnya, mempengaruhi pemikiran Hobbes yang menganggap hanya penguasa yang absolut yang bisa meredam konflik yang terjadi.
Indonesia pada masa awal masa pemerintahan orde baru di tahun 1966, mengalami kegaduhan politik. Konflik yang bersifat horizontal dan vertikal terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari Aceh hingga Papua terjadi kerusuhan. Selain itu, kerusuhan pasca Gerakan G-30S/PKI, meningkatnya kriminalitas di masyarakat, serta konflik dan kerusuhan lainnya. Rentetan peristiwa ini mendorong Pemerintah untuk segera mengambil keputusan dan kebijakan terbaik untuk menjaga keamanan negara. Soeharto sebagai Presiden yang memegang kekuasaan saat itu, merubah arah kekuasaan yang tunduk hanya di bawah kekuasaannya.
Orde baru berfokus pada pembangunan ekonomi. Langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah memulihkan hubungan dengan dunia Barat, sehingga memungkinkan masuknya dana bantuan asing yang masuk ke Indonesia. Manajemen fiskal mulai diperbaiki dengan hati-hati oleh para teknokrat dan hubungan bilateral dengan malaysia mulai dibangun. Langkah selanjutnya yang dilakukan Soeharto adalah depolitisasi Indonesia. Para Menteri tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh Presiden. Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat milik Suharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh partai-partai politik.[14]
Kebijakan-kebijakan diatas menunjukkan kemampuan Soeharto untuk mengontrol pemerintahan dibawah kekuasaannya. Menteri yang tidak diizinkan membuat kebijakan selain perintahnya memperlihatkan Soeharto sebagai “Penguasa Tangan Besi” yang mengelola negara. Pada tahun 1984, semua organisasi sosial politik harus menyatakan Pancasila (lima prinsip pendirian Negara Indonesia yang diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1940an) sebagai satu-satunya ideologi mereka. Soeharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat penekanan karena semua organisasi berada di bawah ancaman tuduhan melakukan tidakan-tindakan anti-Pancasila.
Pada 1980-an, Soeharto berada di puncak kekuasaanya. Setiap pemilu dimenangkan secara mudah. Terlebih lagi, dia berhasil membuat pihak militer menjadi tidak berkuasa. Tidak berbeda dengan partai-partai politik dan pegawai negeri sipil, militer bekerja untuk mengimplementasikan kebijakan Soeharto. Selain itu, arena politik adalah area tertutup, umat Muslim melihat Islam sebagai alternatif yang aman. Keberatan dan keluhan tentang pemerintah didiskusikan di mesjid-mesjid dan khotbah-khotbah karena terlalu berbahaya untuk berbicara dalam demonstrasi (yang akan segera dihentikan juga bila terjadi). Pengukungan terhadap gerakan-gerakan sosial juga baik kelompok agama, profesi, dan sebagainya semakin dibatasi. Dengan kata lain Soeharto menjalankan kekuasaan sepenuhnya atas dasar kehendaknya.
Jika merunut pada pemikiran Hobbes yang sudah dijelaskan diatas, konsep negara yang memiliki kekuasaan mutlak pernah berada di Indonesia pada masa Soeharto ini. Sistem demokrasi Pancasila yang tunduk pada perintah Soeharto menjadikan Soeharto sebagai salah satu Presiden yang menganut prinsip kekuasaan absolut Hobbes. Jika kita melihat lebih dalam, kekuasaan absolut yang dipikirkan oleh Hobbes sangat rentan terjadinya kekuasaan tirani. Hal ini terbukti dengan pemerintahan otoriter Soeharto selama 32 tahun.

5.      Kesimpulan
Dari hasil pemaparan teori kontrak sosial Thomas Hobbes yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan bahwa:
a.       Sistem Pemerintahan yang terbaik menurut Thomas Hobbes adalah Monarki Absolut.
b.      Kontrak sosial Hobbes merupakan dorongan dari keadaan alamiah (state of nature) manusia yang harus mengusahakan perdamaian. Setiap manusia memberikan secara sepenuhnya kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur hidupnya. Hak tersebut diberikan secara individual kepada orang yang ditunjuknya bukan melalui perwakilan.
c.       Menurut Hobbes, negara harus memiliki kekuasaan yang mutlak untuk menciptakan perdamaian dan menghindari perilaku anarki dari manusia, konflik, perang sipil, dan sebagainya.
d.      Dalam melihat secara kontekstual di Indonesia, pemikiran Hobbes dapat dihubungkan dengan masa pemerintahan Soeharto yang memiliki kekuasaan mutlak dan cenderung otoriter.

Daftar Pustaka
Gusti Madung, Otto, 2013, Filsafat Politik: Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis, Jakarta, PT Ledalero.
Hobbes, Thomas, 1966, Leviathan oder Stoff, Form und Gewalt eines kirchlichen und burgerlichen Staates (1651), hrsg. V. Iring Fischer, Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Lessnoff, Michael, 1986, The Social Contract; Issues in Political Theory, London: Macmillan Ltd.
Magnis Suseno, Franz, 1994, Etika Politik, Jakarta: Gramedia.
Noer, Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: CV. Rajawali.
Schmandt, Henry J. 2009, Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suhelmi, Ahmad, 2001. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Internet
www.indonesia-investment.com, diakses pada tanggal 14 November 2016 pukul 12.00 WIB.




[1] Otto Gusti Madung. Filsafat Politik: Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis, Jakarta, PT Ledalero. 2013. hlm. 28.
[2] Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001. hlm. 166.
[3] Franz Magnis Suseno. Etika Politik, Jakarta: Gramedia. 1994. hlm. 201. Pertarungan antara Raja Charles I versus Parlemen, Perang Sipil (Civil War) , Perang Agama Katolik versus Protestan. Dikaji secara mendalam oleh G.E Aylmer, 1986, Rebellion or Revolution, England from  Civil War to Restoration, Oxford, New York: Oxford University Press.
[4] Otto Gusti Madung. Op.cit. hlm. 29-30.
[5] Ibid. hlm. 30.
[6] Ahmad Suhelmi, Op.cit, hlm. 169.
[7] Thomas Hobbes. Leviathan oder Stoff, Form und Gewalt eines kirchlichen und burgerlichen Staates (1651), hrsg. V. Iring Fischer, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1966. Hlm. 99.
[8] Michael Lessnoff. The Social Contract; Issues in Political Theory, London: Macmillan Ltd. 1986. Hlm. 50.
[9] Thomas Hobbes. Op.cit. hlm. 100.
[10] Ibid,. hlm. 110.
[11] Hobbes dalam Lessnoff. Op.cit,. hlm. 56.
[12] Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri Barat, Jakarta: CV. Rajawali. 1982. hlm, 81.
[13] Hobbes dalam Henry J. Schmandt. Filsafat Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern III, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. hlm. 321.
[14] www.indonesia-investment.com, diakses pada tanggal 14 November 2016 pukul 12.00 WIB.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search