1.
Pendahuluan
Makalah ini membahas
pemikiran kontrak sosial dari Thomas Hobbes. Pemikiran Hobbes menganggap negara
sebagai Leviathan. Leviathan diartikan sebagai monster yang ganas, menakutkan
dan kejam yang ada pada kisah perjanjian lama. Makluk ini bukan hanya ditakuti
namun juga perintahnya selalu dipatuhi. Kemampuannya yang dapat mengancam
keberadaan makhluk lainnya.
Negara kekuasaan
menimbulkan rasa takut bagi rakyatnya yang melanggar hukum. Jika warga negara
melanggar hukum, negara Leviathan tidak segan-segan menjatuhkan hukuman mati.
Negara diposisikan sebagai institusi yang memiliki kekuatan tak terbatas.
Negara dapat menentukan keputusan-keputusan tanpa mempertimbangkan kepentingan
lainnya. Bagi Hobbes, Negara yang punya kekuasaan tak terbatas merupakan negara
terbaik. Apa yang mendasari Hobbes berpikir demikian? Dan mengapa negara harus
memiliki kekuasaan yang absolut dan mengancam individu-individu untuk
mewujudkan perdamaian dan menghindari perang?
Pada
makalah ini akan membahas secara jelas bagaimana pemikiran politik dari Hobbes.
Kontrak sosial yang lahir dari pemikiran Hobbes didorong oleh kondisi
sosio-historis yang dialami oleh Hobbes. Keadaan negara yang sedang perang dan
tidak damai saat itu menjadi penyebab munculnya pemikiran Hobbes untuk harus
adanya negara kekuasaan absolut yang mampu mengontrol kerusuhan-kerusuhan yang
terjadi. Untuk lebih jelas, penulis akan membagi alur lahirnya pemikiran
kontrak sosial Hobbes dan pandangan Hobbes dalam melihat negara. Selain itu,
penulis akan melihat konteks kekuasaan negara yang ada di Indonesia dengan
melihat sudut pandang kontrak sosial yang disampaikan oleh Hobbes.
2.
Latar
Belakang Pemikiran Thomas Hobbes
Thomas Hobbes lahir
pada tanggal 5 April 1588 di Malmesbury, Inggris dan meninggal dunia pada
tanggal 3 Desember 1679. Dalam Vita
Carmine Expressa (1672), Hobbes menulis bahwa ibunya melahirkan anak
kembar: Dia sendiri dan Ketakutan (me
metumque simul).[1]
Ibu Hobbes melahirkan secara prematur Hobbes karena sang Ibu takut akan armada
angkatan laut Spanyol yang siap menggempur Inggris. Ketika dirinya lahir, Ratu
Elizabeth I sedang sibuk menaklukkan golongan Gereja Katolisisme. Penganut
agama ini ditindas dengan kejam. Terjadi pula penaklukan Irlandia dan
Skotlandia menjadi bagian dari Inggris Raya.[2]
Hal ini menggambarkan kondisi ketakutan yang selalu mengikuti setiap karya dan
hidup Hobbes.
Hobbes dilahirkan dalam
keluarga miskin. Ayahnya seorang pendeta, mengirimkannya pada pamannya yang
kaya. Pamannya yang membesarkan dan mendidik Hobbes. Atas bantuan pamannya
Hobbes melanjutkan studi di Universitas Oxford. Melalui Oxford, Hobbes dapat
mempelajari pemikiran politik dari Aristoteles yang kemudian dikritiknya.
Pengejaran Parlemen
terhadap dirinya mendorong Hobbes untuk mengasingkan diri ke Perancis tahun
1640. Dari tahun 1640-1652 Hobbes berada dalam pengasingan di Perancis. Selama
masa ini ia menerbitkan salah satu karya pentingnya dalam bidang politik yang
berjudul De cive (1641). Perjalan
Hobbes dengan karya-karyanya menjadi perhatian yang diminati. Ada suatu masa
ketika karyanya De cive lebih
diminati dibandingkan karyanya Leviathan.
Tahun 1646-1647 Hobbes pernah menjadi guru matematika Prince of Wales yang juga sedang berada dalam
pengasingan di Paris.
Hobbes pernah melakukan perjalanan keliling Eropa dan selama itu Hobbes berkenalan dengan banyak tokoh pemikir dan ilmuwan abad ke-17 seperti Galileo Galilei, W. Harvey, Rene Descartes, Franscis Bacon, dan tokoh-tokoh lainnya. Pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut turut mempengaruhi pemikiran Hobbes mengenai manusia dan perilakunya. Hal ini menunjukkan pemikiran Hobbes atas prosesnya belajar dan mengkaji pemikiran terdahulu dari tokoh-tokoh Eropa.
Hobbes pernah melakukan perjalanan keliling Eropa dan selama itu Hobbes berkenalan dengan banyak tokoh pemikir dan ilmuwan abad ke-17 seperti Galileo Galilei, W. Harvey, Rene Descartes, Franscis Bacon, dan tokoh-tokoh lainnya. Pengaruh dari tokoh-tokoh tersebut turut mempengaruhi pemikiran Hobbes mengenai manusia dan perilakunya. Hal ini menunjukkan pemikiran Hobbes atas prosesnya belajar dan mengkaji pemikiran terdahulu dari tokoh-tokoh Eropa.
Banyak peristiwa yang
menjadi latar belakang pemikiran Hobbes, salah satunya pertentangan antara
Gereja Anglikan resmi, kaum puritan, dan golongan Katolik serta konfrontasi
antara Raja dan Parlemen. Semua ini berlangsung ketika Hobbes menginjak dewasa
hingga tua usianya. Pada tahun 1649, Hobbes menyaksikan konflik antara raja
Charles I dengan Parlemen yang berakhir dengan kekalahan Raja. Akibat
kekalahannya raja dipenggal atas perintah Cromwell.[3] Konflik
yang dirasakan secara langsung oleh Hobbes ini juga mempengaruhi pemikirannya
dalam melihat kekuasaan negara. Kekacauan politik menjadi cerminan tidak adanya
stabilitas politik suatu negara. Bagi Hobbes tidak adanya stabilitas politik
hanya akan melahirkan konflik terhadap kekuasaan.
Berbagai karya Hobbes
sangat luas dan mengagumkan. Mulai dari refleksi persoalan-persoalan filsafat,
epistemologi, matematika, geometri, dan fisika hingga karya seputar etika,
filsafat politik dan analisis tentang perang saudara yang melanda Inggris pada
waktu itu. Sebagaimana Rene Descartes, Hobbes pun mengkritik dan melampaui
filsafat skolastik yang mendominasi seluruh filsafat abad pertengahan dan awal
zaman baru. Keduanya membangun argumentasi filosofis atas dasar akal budi
manusia dan meninggalkan argumentasi otoritatif seperti pernah dikembangkan
Plato, Aristoteles, Agustinus, dan Thomas Aquinas.[4]
Namun dibandingkan
dengan Descartes, Thomas Hobbes masih jauh lebih radikal dalam berargumentasi
dan membela otonomi filsafat berhadapan dengan teologi. Jika teori pengetahuan
Descartes masih berpijak pada eksistensi Allah sebagai dasar terakhir kepastian
dan kebenaran, filsafat politik Hobbes boleh dipandang sebagai rancangan
sistematis pertama konsep filsafat politik sekuler. Prosedur argumentasi yang
individualistis dan semata-mata berpijak pada akal budi murni manusia
menghantar filsafat politik Hobbes meninggalkan aristotelianisme serta konsep
tatanan politis kosmologis dan teologis abad pertengahan.[5]
Berbagai
macam kondisi sosio-historis yang dialami Hobbes mengantarkan pemikiran Hobbes
tentang Negara dan Kekuasaan. Pandangan Hobbes melihat negara sebagai sosok
Leviathan, monster yang ditakuti, merupakan hasil refleksi kehidupan yang
dialami Hobbes. Keberadaan state of
nature (kondisi alamiah) manusia, konflik kekuasaan antara raja, gereja dan
parlemen, serta rusaknya tatanan kenegaraan saat itu membutuhkan suatu
kekuasaan tak terbatas yang dapat menjaga stabilitas politik yaitu Penguasa.
Hal ini yang kemudian akan penulis bahas selanjutnya mengenai pemikiran Hobbes
terkait kondisi alamiah manusia serta bagaimana negara bisa terbentuk dengan
adanya kontrak sosial.
3.
State
of Nature dan Terbentuknya Negara
Pada buku Leviathan
yang ditulis oleh Hobbes mencerminkan pemikiran Hobbes sebagai manusia yang
mendapatkan pengaruh dari manusia dan
pergaulan hidup. Pergaulan hidup yang dialami Hobbes dengan penuh rasa takut
dan bertindak hanya berdasar kepentingan sendiri.
Menurut Hobbes, akal
budi mewajibkan setiap manusia untuk mempertahankan hidup dan menjauhi segala
sesuatu yang membahayakan hidup. Manusia menjalankan tuntutan akal budi atas
dasar kebutuhan kodrati untuk survival. Aturan-aturan perilaku yang
mewujudkan tuntutan rasionalitas tersebut menyebutkan beberapa sarana yang
digunakan untuk mencapai tujuan tersebut. Tuntutan akal budi itu berupa aturan
kelicikan atau kelihaian yang tidak bersifat kategoris tetapi dianjurkan untuk
ditaati untuk dapat bertahan hidup: setiap orang tahu bahwa keadaan dimana
aturan ini berlaku jauh lebih menguntungkan dan lebih baik dari posisi alamiah.
Pandangan Hobbes ini
setiap manusia memiliki hak untuk menggunakan akal nalarnya dalam memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri. Pemikiran Hobbes mengenai penggunaan nalar ini
dipengaruhi oleh tokoh penting Francis Bacon. Persahabatannya dengan tokoh
empiris Inggris ini menyadarkan Hobbes akan pentingnya penggunaan nalar dan
metode-metode eksperimental dalam dunia ilmu pengetahuan. Hobbes juga
terpengaruh gagasan politik otoritarianisme Bacon.[6]
Prinsip dasar aturan
yang merupakan produk dari kemampuan dalam mengolah pengalaman kondisi alamiah
adalah aturan perdamaian bersyarat: “Setiap orang mengusahakan perdamaian
sejauh masih ada harapan untuk itu. Andaikata perdamaian tak dapat lagi
diciptakan, ia boleh mengangkat senjata, menggunakan kekerasan atau berperang.”[7]
Aturan ini tidak memberikan solusi bagaimana menciptakan perdamaian. Setiap
orang memiliki hak dasar masing-masing untuk menjadi apapun sesuai kehendak
dirinya. Pada akhirnya hanya menjelaskan sebab sebagai faktor konsekuensi umum
dari perang. Kondisi ini didasari pandangan Hobbes yang menganggap setiap
manusia bersaing menggunakan usahanya masing-masing untuk mendapatkan kebahagiaan
melalui akal nalarnnya. Persaingan ini dapat berakhir pada kebahagiaan bagi
yang menang dan penderitaan bagi yang kalah. Mereka yang kalah akan tersingkir
dan yang menang akan berkuasa.
Dalam hal ini Hobbes
menegaskan bahwa persaingan rangsangan-rangsangan alamiah untuk menggunakan
kekuasaan dalam diri manusia. Dalam menghadapi persaingan, manusia terdorong
untuk menggunakan kekuasaan yang ada padanya. Kecenderungan itu semakin kuat
mengingat manusia pada dasarnya adalah makhluk pemburu kekuasaan. Berdasarkan
asumsi itu, Hobbes berpendapat bahwa kehidupan manusia akan selalu diwarnai
oleh persaingan dan konflik kekuasaan.[8]
Pada kondisi ini kekerasan menjadi senjata utama dalam melakukan persaingan.
Hingga Hobbes kemudian menganggap secara alamiah akan saling memerangi manusia
lainnya. Manusia akan menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus). Semua manusia akan
berperang melawan semua (bellum omnium
contra omnes).
Kewajiban kodrati (lex naturalis) kedua menjelaskan bahwa:
“Setiap orang harus secara sukarela menanggalkan haknya atas semua (ius omnium in omnia), dengan syarat
bahwa yang lain bersedia bekerja sama, sejauh hal itu dipandang penting demi
menciptakan perdamaian serta tujuan survival; ia harus menciptakan ruang bebas
untuk orang lain sebagaimana orang lain juga memungkinkan kebebasan untuknya.[9]
Aturan ini lahir dari pikiran Hobbes mengenai perang yang diartikan sebagai bellum omni contra omni. Peperangan
sebagai akibat persaingan antar manusia yang memiliki haknya secara mutlak.
Pada dasarnya jika semua manusia beranggapan bahwa kehidupannya tidak bisa
diganggu oleh manusia lain, maka konflik dan perang antara semua manusia juga
tidak akan terselesaikan. Untuk itu yang harus dilakukan adalah menjaga jarak
dari semua manusia lainnya. Kondisi saling menjaga jarak antar manusia hanya
akan tercipta jika adanya ketersalingan. Dengan demikian ketidakseimbangan yang
dapat membahayakan perdamaian dapat terhindari.
Ketersalingan ini
merupakan kewajiban umum bagi individu-individu untuk bersifat
kooperatif-rasional, membuat kontrak dan membatasi kebebasan kodrati atas dasar
kesepakatan bersama. Hal ini berkaitan dengan janji untuk tidak saling
menyerang, kewajiban-kewajiban kontrak untuk saling menghormati hidup dan hak
milik. Perjanjian yang telah dibuat dan disepakati bersama ini harus dijalankan
secara disiplin dan tidak dilanggar. Dengan demikian bunyi kewajiban kodrati
yang ketiga menurut Hobbes: Abgeschlossene
Vertrage sind zu halten – “Kontrak yang sudah dibuat harus ditaati” (pacta sunt servanda).[10]
Kewajiban
untuk mematuhi kontrak yang telah dibuat ini belum terjamin akan terlaksana
hanya dengan menggunakan akal budi. Dengan akal budi saja tidak akan menentukan
semua orang akan bersikap menjaga perdamaian dan kerjasama. Untuk itu bagi
Hobbes membutuhkan instansi kekuasaan yang mengarahkan agar aturan-aturan yang
telah dibuat dapat dijaga. Setiap individu menyerahkan haknya sepenuhnya secara
sukarela kepada institusi dan memberikan kewenangan untuk melakukan apapun
terhadap dirinya.
“Saya mewenangkan dan menyerahkan
hak saya atas pengaturan diri saya kepada orang ini atau kepada sekumpulan
orang ini, dengan syarat ini bahwa anda melepaskan hak anda kepadanya dan
mewenangkan semua tindakannya dalam perilaku sama”[11]
Menurut Hobbes negara
harus bersifat absolut. Kekuasaannya harus berpusat pada satu orang. Kekuasaan
yang terbelah hanya akan menimbulkan konflik, anarki, perang sipil dalam
negara. Penguasa harus memiliki kekuasaan sepenuhnya untuk menjaga stabilitas
dan menjaga agar kontrak sosial yang dibangun tidak dilanggar oleh manusia.
Hobbes tidak menyangkal bahwa kekuasaan absolut pada satu orang akan melahirkan
kekuasaan yang bersifat despotis. Namun demikian, bagi Hobbes negara yang
bersifat despotis lebih baik jika dibandingkan dengan konflik yang akan terjadi
ketika kekuasaan negara terbelah. Bahkan sampai pada pergantian penguasa
hendaknya diserahkan kepada penguasa itu sendiri. Ini akan menjamin kelanjutan
hidup bersama yang telah dibentuk dengan perjanjian.[12]
Kontrak sosial Thomas
Hobbes menjelaskan secara jelas bahwa kekuasaan yang terbaik menurut Hobbes
adalah yang bersifat absolut. Monarkhi absolut memberikan kekuasaan tidak
terbatas kepada penguasa untuk memegang peranan penting dalam mengelola
stabilitas negara sesuai dengan kehendak penguasa. Hobbes meyakini bahwa
kekuasaan yang dipegang oleh satu orang akan lebih mudah diperbaiki jika
mengalami kerusakan dibandingkan dengan kekuasaan yang dipegang oleh banyak
orang. Untuk mengontrol kegaduhan dan konflik yang terjadi pada suatu negara
dibutuhkan kekuasaan absolut yang bisa memutuskan apa yang harus dilakukan.
Konsepsi
Hobbes tentang kedaulatan mengakui wilayah aktivitas privat yang relatif tetap
bebas dari intervensi negara. Wilayah kebebasan individu ini mencakup hak “jual
beli, dan melakukan kontrak dengan orang lain, memilih tempat tinggal,
penghasilan, cara kehidupan, dan menyekolahkan anak-anak mereka ke tempat yang
mereka anggap cocok.[13]
4.
Kekuasaan
Orde Baru di Indonesia
Dalam melihat pemikiran
Hobbes tentang kekuasaan dan negara yang absolut, di Indonesia bisa dilihat
pada masa orde baru di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Kekuasaan Presiden Soeharto
yang cenderung otoriter dan terpimpin, di bawah kekuasaannya memiliki kesamaan
dengan pemikiran Hobbes yang melihat harus adanya pemimpin yang absolut.
Menurut Hobbes penguasa tangan besi dibutuhkan agar stabilitas negara terwujud
dan untuk menghindari konflik yang terjadi. Latar belakang sosio historis yang
dialami Hobbes seperti yang dibahas sebelumnya, mempengaruhi pemikiran Hobbes
yang menganggap hanya penguasa yang absolut yang bisa meredam konflik yang
terjadi.
Indonesia pada masa
awal masa pemerintahan orde baru di tahun 1966, mengalami kegaduhan politik.
Konflik yang bersifat horizontal dan vertikal terjadi hampir di seluruh wilayah
Indonesia. Dari Aceh hingga Papua terjadi kerusuhan. Selain itu, kerusuhan
pasca Gerakan G-30S/PKI, meningkatnya kriminalitas di masyarakat, serta konflik
dan kerusuhan lainnya. Rentetan peristiwa ini mendorong Pemerintah untuk segera
mengambil keputusan dan kebijakan terbaik untuk menjaga keamanan negara.
Soeharto sebagai Presiden yang memegang kekuasaan saat itu, merubah arah
kekuasaan yang tunduk hanya di bawah kekuasaannya.
Orde baru berfokus pada
pembangunan ekonomi. Langkah pertama yang dilakukan Soeharto adalah memulihkan
hubungan dengan dunia Barat, sehingga memungkinkan masuknya dana bantuan asing
yang masuk ke Indonesia. Manajemen fiskal mulai diperbaiki dengan hati-hati
oleh para teknokrat dan hubungan bilateral dengan malaysia mulai dibangun.
Langkah selanjutnya yang dilakukan Soeharto adalah depolitisasi Indonesia. Para
Menteri tidak diizinkan membuat kebijakan mereka sendiri. Sebaliknya, mereka
harus mengimplementasikan kebijakan-kebijakan yang diformulasikan oleh
Presiden. Golkar (akronim dari Golongan Karya, atau
kelompok-kelompok fungsional) digunakan sebagai kendaraan parlementer yang kuat
milik Suharto. Golkar ini mencakup beberapa ratus kelompok fungsional yang
lebih kecil (seperti persatuan-persatuan buruh, petani dan pengusaha) yang
memastikan bahwa masyarakat Indonesia tidak bisa lagi dimobilisasi oleh
partai-partai politik.[14]
Kebijakan-kebijakan
diatas menunjukkan kemampuan Soeharto untuk mengontrol pemerintahan dibawah
kekuasaannya. Menteri yang tidak diizinkan membuat kebijakan selain perintahnya
memperlihatkan Soeharto sebagai “Penguasa Tangan Besi” yang mengelola negara. Pada
tahun 1984, semua organisasi sosial politik
harus menyatakan Pancasila (lima prinsip pendirian Negara Indonesia yang
diperkenalkan oleh Soekarno pada tahun 1940an) sebagai satu-satunya ideologi
mereka. Soeharto kemudian menggunakan Pancasila sebagai alat penekanan karena
semua organisasi berada di bawah ancaman tuduhan melakukan tidakan-tindakan
anti-Pancasila.
Pada 1980-an, Soeharto berada di puncak kekuasaanya. Setiap
pemilu dimenangkan secara mudah. Terlebih lagi, dia berhasil membuat pihak
militer menjadi tidak berkuasa. Tidak berbeda dengan partai-partai politik dan
pegawai negeri sipil, militer bekerja untuk mengimplementasikan kebijakan Soeharto.
Selain itu, arena politik adalah area tertutup, umat Muslim melihat Islam
sebagai alternatif yang aman. Keberatan dan keluhan tentang pemerintah
didiskusikan di mesjid-mesjid dan khotbah-khotbah karena terlalu berbahaya
untuk berbicara dalam demonstrasi (yang akan segera dihentikan juga bila terjadi).
Pengukungan terhadap gerakan-gerakan sosial juga baik kelompok agama, profesi,
dan sebagainya semakin dibatasi. Dengan kata lain Soeharto menjalankan
kekuasaan sepenuhnya atas dasar kehendaknya.
Jika merunut pada pemikiran Hobbes yang sudah
dijelaskan diatas, konsep negara yang memiliki kekuasaan mutlak pernah berada
di Indonesia pada masa Soeharto ini. Sistem demokrasi Pancasila yang tunduk
pada perintah Soeharto menjadikan Soeharto sebagai salah satu Presiden yang
menganut prinsip kekuasaan absolut Hobbes. Jika kita melihat lebih dalam,
kekuasaan absolut yang dipikirkan oleh Hobbes sangat rentan terjadinya
kekuasaan tirani. Hal ini terbukti dengan pemerintahan otoriter Soeharto selama
32 tahun.
5.
Kesimpulan
Dari hasil pemaparan
teori kontrak sosial Thomas Hobbes yang telah dibahas diatas, dapat disimpulkan
bahwa:
a. Sistem
Pemerintahan yang terbaik menurut Thomas Hobbes adalah Monarki Absolut.
b. Kontrak
sosial Hobbes merupakan dorongan dari keadaan alamiah (state of nature) manusia
yang harus mengusahakan perdamaian. Setiap manusia memberikan secara sepenuhnya
kepada seseorang atau sekelompok orang untuk mengatur hidupnya. Hak tersebut
diberikan secara individual kepada orang yang ditunjuknya bukan melalui
perwakilan.
c. Menurut
Hobbes, negara harus memiliki kekuasaan yang mutlak untuk menciptakan perdamaian
dan menghindari perilaku anarki dari manusia, konflik, perang sipil, dan
sebagainya.
d. Dalam
melihat secara kontekstual di Indonesia, pemikiran Hobbes dapat dihubungkan
dengan masa pemerintahan Soeharto yang memiliki kekuasaan mutlak dan cenderung
otoriter.
Daftar Pustaka
Gusti
Madung, Otto, 2013, Filsafat Politik:
Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis, Jakarta, PT Ledalero.
Hobbes,
Thomas, 1966, Leviathan oder Stoff, Form
und Gewalt eines kirchlichen und burgerlichen Staates (1651), hrsg. V.
Iring Fischer, Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Lessnoff,
Michael, 1986, The Social Contract;
Issues in Political Theory, London: Macmillan Ltd.
Magnis
Suseno, Franz, 1994, Etika Politik,
Jakarta: Gramedia.
Noer,
Deliar, 1982, Pemikiran Politik di Negeri
Barat, Jakarta: CV. Rajawali.
Schmandt,
Henry J. 2009, Filsafat Politik: Kajian
Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern III, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Suhelmi,
Ahmad, 2001. Pemikiran Politik Barat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Internet
www.indonesia-investment.com,
diakses pada tanggal 14 November 2016
pukul 12.00 WIB.
[1]
Otto Gusti Madung. Filsafat Politik:
Negara dalam Bentangan Diskursus Filosofis, Jakarta, PT Ledalero. 2013. hlm.
28.
[2]
Ahmad Suhelmi. Pemikiran Politik Barat.
Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2001. hlm. 166.
[3]
Franz Magnis Suseno. Etika Politik,
Jakarta: Gramedia. 1994. hlm. 201. Pertarungan antara Raja Charles I versus
Parlemen, Perang Sipil (Civil War) , Perang Agama Katolik versus Protestan.
Dikaji secara mendalam oleh G.E Aylmer, 1986, Rebellion or Revolution, England
from Civil War to Restoration,
Oxford, New York: Oxford University Press.
[4]
Otto Gusti Madung. Op.cit. hlm.
29-30.
[5] Ibid. hlm. 30.
[6]
Ahmad Suhelmi, Op.cit, hlm. 169.
[7]
Thomas Hobbes. Leviathan oder Stoff, Form
und Gewalt eines kirchlichen und burgerlichen Staates (1651), hrsg. V.
Iring Fischer, Frankfurt am Main: Suhrkamp, 1966. Hlm. 99.
[8]
Michael Lessnoff. The Social Contract;
Issues in Political Theory, London: Macmillan Ltd. 1986. Hlm. 50.
[9]
Thomas Hobbes. Op.cit. hlm. 100.
[10] Ibid,. hlm. 110.
[11]
Hobbes dalam Lessnoff. Op.cit,. hlm. 56.
[12]
Deliar Noer. Pemikiran Politik di Negeri
Barat, Jakarta: CV. Rajawali. 1982. hlm, 81.
[13]
Hobbes dalam Henry J. Schmandt. Filsafat
Politik: Kajian Historis dari Zaman Yunani Kuno sampai Zaman Modern III,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2009. hlm. 321.
Posting Komentar