Kitab ‘Aqa’id al-Nasafi disebut sebagai manuskrip tertua di Nusantara,
khususnya dalam pembahasan mengenai akidah Islam. Pembahasan kitab ini telahpun
dikaji oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam karyanya berjudul The Oldest Known Malay Manuscript: a 16th
Century Malay Translation of the ‘Aqa’id al-Nasafi, diterbitkan oleh
Universiti Malaya (1988).
Pengarang kitab ini adalah Abu Hafs bin
Muhammad bin Muhammad Nasafi atau yang dikenal dengan nama Abu Hafs ‘Umar Najm
al-Diin al-Nasafi (w 537 H/1142 M), salah satu ulama besar Ahli sunnah wal
jama’ah dan mufti mazhab Hanafi serta ahli kalam beraqidah Maturidi. Kitab ini
sangat populer dan banyak ditulis komentarnya (sharah). Diantaranya adalah Sharh ‘Aqa’id an-Nasafi karya Sa‘d
al-Dīn al Taftazani (w. 791 H/ 1387/8 M). Kitab ini mendapat pengakuan sejumlah
ulama karena keunggulannya dalam merangkum sejumlah prinsip-prinsip agama dan
akidah Islam yang penting untuk diketahui. Nisbah al-Nasafi merujuk pada
Nasaf/Nakhshab di Soghdiana, distrik yang terletak diantara Sungai Jaxartes
(Syr Darya) dan Oxus (Ami Darya) yang didiami oleh suku Tartar.
Terjemahan bahasa melayu dari Sharh ‘Aqaid an-Nasafi milik
al-Taftazani ditulis oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri (w. 1068/1658 H) sebelum tahun
1637. Kemungkinan ditulis di Pahang, sebelum kedatangan beliau ke Aceh. Kitab
tersebut berjudul Durrat al-Fara’id bi
Sharh al-‘Aqa’id. Kitab karangan ar-Raniri tersebut telah dikaji dan
dibentangkan dalam sebuah kertas kerja oleh Wan Mohd. Wan Daud dan Khalif
Muammar di Seminar Kebudayan pada PKA ke-V tahun 2009 di Banda Aceh.
S.M.N. al-Attas berpendapat bahwa
kitab ini ditulis dengan merangkum aspek-aspek fundamental ajaran Islam yang tergerak
dari ijma’ ulama, setelah terjadi perdebatan panjang para ahli kalam, sufi dan
antar mazhab. Naskah yang didapat ini dipastikan berupa salinan asli dari
naskah yang ditulis di luar dunia Melayu. Dari simbol diakritik yang tertera
pada manuskrip menunjukkan bahwa manuskrip tersebut ditulis di Nusantara oleh
penduduk tempatan Hal ini didasarkan pada metode penulisan yang mengindikasikan
penulisan khas alam Melayu, misalnya metode penulisan tanggal.
Tertera bahwa penulisan/penyalinan
kitab ini diselesaikan pada tahun Bā’, dinyatakan juga tahun 998 H. Diperkirakan
ditulis pada tahun 1590 M. Ketika itu Kesultanan Aceh berada dibawah kekuasaan
Sultan 'Alauddin Ri‘ayat Syah yang dikenal dengan laqab Sayyidil Mukammil
(1589-1604).
Al-Attas menjelaskan, saat Malaka
dikuasai oleh Portugis pada tahun 1511, Aceh berkembang pesat menjadi wilayah
paling penting dalam perdagangan dan kebudayaan di alam Melayu, menjadi sentral
bagi perkembangan keilmuan dan tradisi inelektual. Saat itu Aceh didatangi oleh
sejumlah ulama yang berpengetahuan tinggi. Pada tahun 1560, Aceh telah menjadi
sentral bagi pendidikan, budaya dan perdangangam di wilayah nusantara dan
menjadi "ibukota” bagi tradisi spiritual dan intelektual alam Melayu. Pada
tahun 1580, ilmu-ilmu seperti fiqih, al-usul, hadith, al-ijma' dan al- athar, juga
tasawuf, bayan, ma'ani dan ma'ani dan
ilmu mantiq, kesemuanya diajarkan di Aceh.
Ulama yang datang ke Aceh diantaranya
Muhammad Azhari, ulama yg mengajar sains intelekual (al-ma'qulat) dari Mekkah.
Ulama berpengaruh lain yang mengajar di Aceh antara lain semisal Abu al-Khayr
bin Syekh bin Hajar dan Syekh Muhammad al-Yamani. Paman dari Syekh Nuruddin
ar-Raniri yaitu Syekh Muhammad al-Hamid yang mengajar ilmu agama dan ilmu
ma'qulat dalam kisaran tahun 1580 hingga 1583, dan mengajar tasawuf pada masa
Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah.
Kandungan Kitab
Menurut al-Attas, kitab ini berisi substansi
dari ajaran-ajaran Islam menyangkut aqidah, terkhusus masalah epistemologi Islam
yang menggambarkan posisi ahli kalam kalangan Asy'ariyah dalam penerimaan/
pembenaran (tasdiq) atas kemungkinan
akan thabitnya (ketetapan) ilmu dan realitas akan sesuatu, penetapan atas
indera persepsi dan pengamatan (observasi), otoritas 'aql sebagai sumber dan metode pengetahuan.
Kitab ini juga mewakili penolakan terhadap
intuisi sebagai sumber pengetahuan yang dapat diandalkan bagi manusia secara
umum (bagi tingkatan awam), pemahaman akidah yang membedakan antara Tuhan dan
alam semesta serta segala ciptaan (mukhalafah)
dan soal asal-muasal alam yang bersifat baharu, metafisika atom dan aksiden (‘aradh), yang kesemuanya berada dalam
posisi menentang pendapat kaum sofis (sufasta‘iyah)
yg pada saat itu ajaran kaum sofis dipegang oleh dan dapat dikesan dalam
kepercayaan sebagian kaum pseudo-sufi
(sufi palsu) yang menyimpang dari pemahaman sufi ahlussunnah wal jama’ah.
Kepercayaan pseudo sufi ini identik
dengan pantheisme dan monisme (misalnya menganggap Tuhan dan
alam semesta sebagai suatu kesatuan, dll).
Meski sebenarnya kitab ini
dilandaskan pada mazhab aqidah Maturidi, namun kitab ini diterima oleh kalangan
Asy‘ariyah. Kitab ini bahkan dikomentari oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri dalam
kitab Durr al-Fara’id bi Sharh al-‘Aqa’id
yang beliau nyatakan telah disesuaikan dengan pahaman Asy‘ariyah. Menurut
penulis, hal ini dilakukan karena kandungan kitab ini relevan digunakan sebagai
hujjah untuk melawan penyimpangan akidah yang berkembang di kalangan pseudo
sufi, dimana pemikian tersebut identik dengan ajaran kaum Sofi.
Al-Attas menyampaikan bahwa klasifikasi
atas kaum Sofi/Sufasta‘iyah dijelaskan oleh Syekh Nuruddin ar-Raniri dalam Tibyan fii Ma’rifati Adyan—yang mungkin
dirujuk dari karya al-Taftazani—ke dalam tiga kelompok: La ‘adriyah, meragukan kebenaran hakikat sesuatu (agnostic); ‘Indiyyah, yang menolak kebenaran objektif dan menganggap kebenaran
tergantung pendapat masing-masing (subjectivist);
dan ‘Inadiyyah, yang menolak akan
hakikat sesuatu yang dianggap hanya fragmen imaginasi, golongan ini artinya
adalah keras kepala (obstinate).
Ketiga karakteristik pemikiran
tersebut dewasa ini diajarkan dan menjadi pegangan dalam filsafat
posmodernisme. Setelah kita ketahui bahwa hal tersebut telah dibahas jauh-jauh
hari oleh para ulama, maka penting bagi kita untuk tetap merujuk pada pemikiran
terdahulu dalam memahami pemikiran Barat hari ini, salah satunya adalah
filsafat posmodernisme.
Posting Komentar