oleh:
Andriansyah
1 Juni 2017 telah sah menjadi hari “Ulang tahun”
Pancasila berdasarkan pemerintahan era Jokowi
dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016. Keputusan ini disambut
tepuk tangan pendukungnya dan banyak pula kritikan yang tidak setuju. Pancasila dalam
diamnya tetap disanjungsajikan ke khalayak ramai dengan identitas kelahirannya
pada 1 Juni. Tak lupa pula apresiasi sikap promosi “Saya Indonesia, saya
Pancasila” yang belakangan menjadi viral entah sebagai propaganda atau pengumuman
identitas. Keputusan ini di satu sisi layak mendapat apresiasi sebagai usaha
pemerintah menjaga ingatan masyarakat tentang Pancasila, setelah
keterpurukannya disalahgunakan oleh oknum di orde lama dan orde baru. Terlepas
dari pro-kontra penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila, ada fakta
yang kiranya perlu ditafsir utuh dengan akal yang sehat dan hati yang tenang.
Pada 1 Juni 1945 sebenarnya Pancasila masih dalam “Kandungan” pidato
Ir. Soekarno dan
belum utuh bentuknya seperti Pancasila yang kita ketahui sekarang. Pada 1 Juni
1945 pula Pancasila ini belum mendapat kesepakatan para The
Founding Fathers untuk menjadi dasar negara Indonesia. Pancasila versi
Soekarno waktu itu hanya mendapat sorakan dan applause dari anggota
BPUPKI. Menyikapi keputusan Presiden ini, ibarat pepatah, nasi telah menjadi bubur. Sekarang menjadi
usaha kita bersama untuk mengolah bubur yang ada menjadi
bergizi dan nikmat yang bisa dikonsumsi setiap kalangan. Jangan
lupa pula bubur yang ada harus dijaga agar tidak ditafsir (olah)
berlebihan yang malah akan membahayakan konsumen.Beberapa bulan ini isu-isu
terkait Pancasila dan persatuan Indonesia kembali menjadi viral. Kosakata
mengerikan mulai menjamur di jagat media sosial Indonesia. Kita menjadi lebih
sering mendengar atau membaca kosakata seperti radikal,
teroris, ekstrimis, intoleran, anti-Pancasila dan beragam diksi negatif
lainnya. Diksi bahaya akan ancaman disintegrasi bangsa dan rusaknya ideologi
negara semakin rajin dijejali dalam pikiran masyarakat melalui berbagai media.
Menyikapi isu seperti anti-Pancasila belakangan ini, kita perlu
mengingat akronim Jasmerah (Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah) yang pernah
di katakan Soekarno. Diksi anti-Pancasila bukanlah hal baru di era kekinian
ini, melainkan isu yang pernah ditebar untuk memberangus lawan politik masa orba. Seperti yang pernah ditulis Muhammad Natsir, Ulama
sekaligus tokoh perumus Pancasila dalam bukunya Agama dan Negara dalam Perspektif
Islam:
“Istilah anti-Pancasila sangat mudah dipakai sebagai alat pemukul golongan yang berbeda paham dengan yang memakainya.”
Pada
masa orba
pun jelas ingatan kita bagaimana stigma anti-Pancasila diukur dengan tafsir
tunggal Pancasila oleh pemerintah. Apakah yang terjadi di era kekinian ini akan
seperti orde baru? Semoga tidak.
Ketua MPR, Zulkifli Hasan pada acara sosialisasi 4 pilar di Solo
tanggal 22 Oktober lalu mengatakan:
“Hari-hari ini kita banyak menyaksikan, banyak salah paham atau paham yang salah tentang Pancasila, orang yang menjalani ajaran agama dengan sungguh-sungguh dianggap jauh dari Pancasila,.”
Dengan berkembangnya isu anti-Pancasila, radikalisme, dan beragam
diksi negatif lainnya, ironinya wacana yang berkembang mengarahkan telunjuk kepada umat
Islam di Indonesia. Terlihat dari sebagian pejabat negara yang fobia terhadap syariat Islam. Seperti yang
pernah diucapkan Wakil Gubernur Jakarta, Djarot Saiful Hidayat:
“Kami betul-betul memastikan di Jakarta tidak boleh satu pun diterbitkan Perda-Perda syariah. Saya jamin itu nggak boleh ya, ini adalah kota miniaturnya Indonesia…”(Detik.com, 24 Marer 2017).
Umat Islam yang taat beragama dan dilindungi oleh konstitusi dicitrakan
sebagai kaum fundamental, teroris, radikal, bahkan anti-Pancasila. Wacana yang berusaha
dibentuk persis ketika orba dahulu. Ber-Islam dengan taat berarti bukan Pancasilais
sejati. Pancasila mulai digiring menuju tafsir secara sekular.
Tidak seperti Pegadaian Syariah yang menyelesaikan masalah tanpa
masalah, realitas yang terjadi malah sebaliknya. Negara ini kembali dilanda
musibah dengan diterbitkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2017 tentang Ormas. Perpu ini pun
langsung mendapat hujan kritikan terhadap kandungannya. Walaupun niat
pemerintah untuk kemajuan dan persatuan bangsa, kandungan Perpu ini
dikhawatirkan malah akan memajukan Pancasila ke belakang
seperti masa orba dengan tafsir tunggalnya yang mencederai demokrasi Indonesia.
Proses pengadilan dan klarifikasi pihak tertuduh untuk membela diri
pun berupaya dihapuskan melalui Perpu ormas ini. Hal ini tentu bertentangan
dengan presumption of innocent atau asas praduga tak bersalah dalam
proses hukum. Akibatnya? Tentu malah akan menempatkan Pancasila sebagai senjata
dan faktor disintegrasi bangsa. Bayangkan saja bagaimana jika ada pihak
tertuduh anti-Pancasila langsung dibubarkan tanpa sempat membela diri, apakah
seperti itu demokrasi dan persatuan dalam keberagaman yang kita cita-citakan? Pertanyaan
sekaligus renungan kita, separah itukah kondisi bangsa ini? Seolah-olah saat
ini ada ketakutan yang memaksa atau memaksa ketakutan? Lalu bagaimana
seharusnya Pancasila beraksi meramu solusi?
Mari kita mulai berpikir jernih dan berlogika sehat. Pada dasarnya jika
Pancasila yang merupakan pemersatu bangsa dan dasar negara Indonesia ditafsirkan
tunggal oleh pemerintah semata, otomatis ini akan bertentangan dengan sejarah
Pancasila itu sendiri sebagai pemersatu keberagaman. Bagaimana mungkin keberagaman itu terjaga jika dipaksa menjadi
sama? Justru letak toleransi itu ketika bisa menghargai perbedaan bukan memaksa
persamaan. Untuk itu, kita mesti bijak memahami Pancasila dengan
jernih sesuai dengan mestinya
untuk menjadi modal bersama dalam menjaga
persatuan dalam keberagaman Indonesia.
Perihal tafsir Pancasila Prof. Deliar Noer dalam bukunya Islam, Pancasila dan Asas Tunggal tahun
1983 menjelaskan bahwa bagaimana fleksibelnya
tafsir Pancasila pernah digunakan:
“Dalam zaman Demokrasi Terpimpin, partai-partai politik juga dituntut untuk mengakui Pancasila sebagai landasan mereka bergerak; ini tercermin dalam perubahan anggaran dasar mereka masing-masing. Tetapi bagi mereka yang menginginkan dasar lain, seperti Islam, sosialisme, atau ajaran Jesus Kristus, dasar ini bisa dicantumkan juga sehingga masing-masing mereka itu mempergunakan baik Pancasila maupun dasar masing-masing. Yang aneh tentu saja ketika Partai Komunis Indonesia juga mengakui Pancasila, padahal siapa pun tahun bahwa paham komunisme tidak mengenal Tuhan.”
Maka sangat disayangkan bilamana perjuangan umat Islam yang taat
beragama malah dicitrakan bertentangan dengan Pancasila. Prof. Deliar
Noer mengutip bahwa Mohammad Hatta menafsirkan sila pertama Pancasila itu sebagai
tauhid dalam ajaran Islam dan menjadi dasar yang memimpin sila-sila
lain. Tentang Islam dan Pancasila menarik disimak pendapat Prof. Kasman
Singodimedjo, tokoh perumus Pancasila dalam bukunya Renungan dari Tahanan:
“Bahwa Islam mempunyai kelebihan dari Pancasila, maka hal itu adalah baik, pun baik sekali untuk/bagi Pancasila itu sendiri dan pasti tidak dilarang oleh Pancasila, bahkan menguntungkan Pancasila karena Pancasila akan dapat diperkuat dan diperkaya oleh Islam.”
Jelas dan sangat jelas bahwa para perumus Pancasila dahulu dalam
usahanya mempersatukan bangsa Indonesia, tidak pernah mempertentangkan agama
dan Pancasila, terkhusus Islam. Justru Pancasila itu butuh bantuan dari agama
untuk bisa benar-benar di implementasikan sebagai pencegah disintegrasi. Jika
dahulu para perumus bangsa saja legowo dengan berbagai
macam tafsir Pancasila yang masih wajar dan tidak mengangkangi agama. Masing-masing berjuang menyampaikan aspirasi sesuai
adabnya. Sehingga upaya membenturkan Islam atau agama lain dengan
Pancasila harus dihentikan sebagai bukti perjuangan menjaga integrasi bangsa
ini.
Syahdan, cara terbaik menjalankan Pancasila sebagai upaya menangkal
ideologi asing yang berbahaya dan ancaman disintegrasi bangsa adalah dengan
memahami Pancasila di bawah naungan agama masing-masing. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi sangat penting
diimplementasikan sebagai fondasi sila-sila lain. Baru kemudian Pancasila sejatinya
diamalkan sesuai petunjuk dari agama. Dalam Islam semua sila dalam Pancasila adalah bagian dari ajaran
Islam. Otomatis jika seseorang taat menjalankan ajaran agama itu, pasti ia
seorang Pancasilais sejati. Orang yang
melaksanakan ajaran agama dengan sungguh-sungguh akan berjiwa Pancasila dan
berperan aktif menjaga NKRI. Kesimpulannya, konsekuensi orang yang mengaku
dirinya Pancasilais mestilah religius. Karena seorang yang religius pastilah
Pancasilais. Namun seorang yang Pancasilais belum tentu religius. Dengan
Pancasilais yang religius, pastilah kelak solusi menjaga integrasi dan
keberagaman bangsa akan terwujud di zaman now.
Daftar Pustaka
Buku
Husaini, Adian. 2009. Pancasila Bukan untuk Menindas Hak
Konstitusional Umat Islam. Jakarta: Gema
Insani.
Natsir, Muhammad. 2001. Agama dan Negara dalam Perspektif
Islam. Jakarta: Media Dakwah.
Noer, Deliar. 1983. Islam, Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan.
Singodimedjo, Kasman. 1967. Renungan Dari Tahanan. Jakarta: Tintamas,
Jurnal
Islamia. Jurnal Pemikiran Islam Republika. Kamis, 15 Juni
2017.
Peraturan Pemerintah
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2017.
Media Online
Hidayatullah.com. Anggota MPR: Pancasilais itu Jadi Penganut
Agama yang Baik dan Taat. Diakses pada 18 November 2017.
Nuun.id. Ikhtiar Hamka Menafsirkan Pancasila. Diakses pada
16 November 2017.
Ryansyah, Andi. Menyoal Tafsir Tunggal Pancasila dalam UU Ormas.
Republika.co.id. Diakses pada 17 November 2017.
Tashandra, Nabilla. Viralnya Tagar “Saya Indonesia, Saya
Pancasila”Jadi Keteladanan. Nasional.kompas.com. Diakses pada 17
November 2017.
*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam perlombaan essay Gelora Kebangsaan 2 dan mendapat juara 2. Perlombaan di adakan oleh HIMADIKWARA FKIP Universitas Syiah Kuala pada November 2017.
*Tulisan ini pernah diikutsertakan dalam perlombaan essay Gelora Kebangsaan 2 dan mendapat juara 2. Perlombaan di adakan oleh HIMADIKWARA FKIP Universitas Syiah Kuala pada November 2017.
Posting Komentar