Gagasan politik Plato yang disebut Platonisme merujuk pada tafsiran atas empat buah karyanya yang berbentuk dialog politik . Karya tersebut berjudul Gorgias, Republic, Statesman dan Laws. Karya-karya tersebut yang kemudian melahirkan istilah Platonisme yang merujuk pada gagasan poltik Plato yang menitikberatkan pada kekuasaan akal.
Terdapat tiga kelompok dalam menginterpretasikan ide-ide Plato dalam politik:
- Unitarian: menduga bahwa juru bicara Plato menampilkan satu dokumen yang konsisten pada keempat dialog tersebut;
- Developmentalis: kelompok ini yakin bahwa doktrin yang diungkapkan oleh juru bicara Plato berkembang dari satu dialog ke dialog berikutnya. Mereka beranggapan bahwa urutan dari dialog tersebut dapat ditentukan. Urutannya adalah dimulai dari Gorgias, Republic, Statesman dan Laws;
- Partikularis: menginterpretasikan tiap-tiap dialog itu sendiri. Mereka mengakui ada ketrerkaitan mata rantai semantic diantara keempat dialog tersebut, namun kelompok ini tidak terlalau memikirkan hubungan satu dialog dengan dialog-dialog yang lain, Beberapa karya yang membahas dalam perspektif kelompok ini diantaranya adalah: Griswold (1988) dan Smith (1988: vol. 1) yang merupakan karya-karya berguna mengenai strategi interpretif dan Tarrant (2000) adalah karya baru yang penting mengenai interpretasi Plato.
- Karya-karya tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain. Benang merahnya adalah gagasan utama mengenai peran akal dan pengetahuan di dalam politik (akal dan pengetahuan menurut Plato adalah akal dan pengetahuan yang melampaui dimensi inderawi dan terkait dengan esensi atau alam ide, akal semacam ini yang kemudian melahirkan pengetahuan hakiki yang bersifat intuitif yang ia sebut wisdom/kebijaksanaan/hikmah-pen).
Dalam Laws (Laws III. 690 a-d) terdapat poin-poin penting mengenai kekuasaan, tiga diantaranya:
- Keturunan terhormat harus memerintah keturunan yang lebih rendah;
- Yang kuat memerintah yang lemah;
- Poin yang menjadi pondasi bagi pemikiran politik Plato adalah yang bijak harus memerintah orang-orang yang bodoh. Kesimpulan inilah yang kemudian mengilhami keempat dialog politik Plato.
Dalam Gorgias, Sokrates menyatakan bahwa: kewarganegaraan sejati (politikê) berbeda dengan pidato di depan umum atau public speaking (rhetorikê), karena kewarganegaraan adalah seni (technê), bukan kecakapan empiris (emipria). Tidak seperti kecakapan empiris, seni memiliki prinsip rasional (logos) dan dapat memberikan sebab (aitia) untuk setiap hal (Gorg.465a).
Sokrates menyebut bahwa orang-orang yang dikenal sebagai negarawan Athena tak satupun mempraktikkan kenegarawanan sejati. Ia menyebut bahwa dirinya satu-satunya negarawan sejati di Athena.
Di dalam Republic, peran akal dan pengetahuan di dalam politik diungkapkan dengan rapi melalui perumpamaan kapal negara. Sebagaimana juru mudi yang wajib memerhatikan langit, bintang-bintang dan angina agar benar-benar memenuhi syarat untuk menguasai sebuah kapal, begitu juga seorang negarawan harus memiliki pengetahuan mengenai wilayah Forma, wilayah paradigma-paradigma rohani yang ada di luar ruang dan waktu bila ingin benar-benar memenuhi syarat untuk menguasai sebuah Polis (Rep.VI.488a7-489a6).
Dalam Statesman, ditegaskan bahwa satu-satunya konstitusi yang benar ialah konstitusi yang menetapkan penguasanya harus memiliki kenegarawanan sejati, sedangkan semua konstitusi lain adalah tiruan buruk atau tiruan bagus dari konstitusi ini. Prinsip yang sama juga ditegaskan dalam Laws.
Salah satu konsep yang menjadi bahasan Plato adalah keadilan. Keadilan dianggap membawa manfaat dan disebut sebagai kebaikan instrinsik. Hal ini menuntut menuntut pemaknaan keadilan di dalam jiwa atau psychê. Melalui argument Sokrates dalam karya tersebut, sebelum mendefinisikan keadilan, ia lebih dulu mendefinisikan keadilan sosial. Baru kemudian ia membandingkan dengan analogi antara polis dan psychê yang kemudian menghasilkan definisi tentang keadilan jiwa (psychic justice).
Keadilan sosial didefinisikan sebagai prinsip pembagian kerja alami. Prinsip ini digunakan dalam menjelaskan asal mula terbentuknya Polis (dalam relasi hubungan timbal balik, berbeda dengan argumen Glaucon yang menganggap terbentuknya Polis disebabkan oleh ketakutan akan bahaya). Manusia dianggap punya tiga kecenderungan alami, yaitu: emas, perak dan perunggu. Tiga kecenderungan tersebut melahirkan prinsip pembagian kerja alami: penguasa, prajurit dan pekerja. Seseorang dengan kecenderungan alaminya msing-masing ini menghabiskan masa hidupnya pada kecenderungannya itu dan tidak seharusnya memilih pekerjaan lain.
Pembahasan mengenai tatanan politik yang ideal dalam sebuah Polis dijelaskan di dalam Republic bahwa Polis yang adil adalah Polis yang setiap warganya menjalankan satu pekerjaan yang telah ditentukan oleh alam dan tidak bekerja di bidang yang lain. Penguasa bertugas memerintah, prajurit melindungi dan pekerja bekerja menyediakan makanan dan kebutuhan yang lain bagi Polis (Rep.IV. 432b-432c).
Dalam membandingkan antara Polis dan jiwa manusia, dijelaskan bahwa jiwa mempunyai tiga bagian yang terkait dengan pembagian kerja di dalam Polis. Jiwa yang adil diumpamakan dengan Polis yang adil. Pada jiwa yang adil, tiap-tiap bagian dari jiwa memiliki tugasnya masing-masing: akal bertugas memerintah jiwa, roh atau thumos melindungi jiwa dari penghinaan dan nafsu menyediakan kebutuhan untuk mendukung jasmani.
Kekuasaan para pemimpin Polis bersandarkan pada ilmu pengetahuan mereka. Apabila kita merujuk pada konsep pengetahuan menurut Plato, maka pengetahuan tersebut bukan hanya sebatas bersifat inderawi, namun pengetahuan hakiki yang didapatkan melalui intuisi yang tidak hanya terkait realitas alam nyata (empiric) namun juga alam metafisik. Pengetahuan tersebut disebut wisdom/kebijaksanaan. Inilah pengetahuan para filsuf. Hanya filsuf sejati yang benar-benar tahu apa yang benar-benar baik dan mengetahui cara meraihnya.
Sumber: Gerald F, Gauss dan Chandran Kukathas (ed.), Handbook Teori Politik, Penerbit Nusa Media, Bandung, 2012.
Posting Komentar