KARYA bertajuk 'Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu' merupakan salah satu karya penting dalam kajian sejarah peradaban Melayu-Nusantara.
Karya ini ditulis oleh ilmuwan terkemuka, Syed Muhammad Naquib al-Attas, yang disampaikannya dalam pengukuhannya sebagai Professor Bahasa dan Kesusasteraan Melayu di Universiti Kebangsaan Malaysia tahun 1974.
Dalam karya ini, Syed Muhammad Naquib al-Attas menjelaskan bagaimana seharusnya penelitian dan pengkajian sejarah, khususnya terhadap sejarah dan kebudayaan dunia Melayu. Ia juga menjabarkan kekeliruan dari pendapat-pendapat ilmuwan Barat dalam menyimpulkan sejarah Melayu-Nusantara.
Beliau menyampaikan bahwa sejarah seyogyanya tidak terlalu fokus pada fakta-fakta mikro yang tidak bermanfaat dalam menggambarkan proyeksi sejarah yang utuh. Kumpulan-kumpulan fakta sejarah tersebut haruslah menggambarkan pandangan alam (worldview atau weltanschauung) dari sebuah peradaban.
Dunia Melayu telah mengalami revolusi pandangan alam yang disebabkan oleh masuknya Islam ke Melayu-Nusantara. Al-Attas yang membantah teori-teori orientalis yang melihat bahwa Hindu-Budha yang memberikan kesan terhadap peradaban Melayu-Nusantara dan bukannya Islam, beliau menganggap kesimpulan ini keliru.
Ada beberapa poin penting yang dapat diuraikan perihal buku ini. Meski belum dapat dikatakan merangkum keseluruhan karya tersebut yang begitu padat substansi. Berikut poin-poin pentingnya:
1. Hindu-Budha merupakan agama yang rumusan ajarannya hanya dipahami oleh golongan elite (bangsawan dan pendeta);
2. Agama Hindu-Budha yang ada di Nusantara berdasar pada falsafah estetik yang wujud dalam bentuk seni dengan balutan mitos dan takhayul, bukan bersifat rasional dan saintifik sebagaimana dalam Islam yang bentuknya dapat dilihat dalam karya-karya Melayu-Nusantara.
3. Bukti fisik berupa peninggalan arkeologis bukanlah tolak ukur bagi menilai keunggulan suatu peradaban. Misalnya candi (Borobudur), prasasti, seni wayang, namun karya tulis yang mencakup pembahasan falsafah dan metafisika yang ada dalam karya-karya ulama Melayu lah yang menunjukkan keunggulan peradaban. Sebagaimana karya-karya filsuf Yunani seperti Plato, Aristoteles dan Plotinus yang menjadi pondasi dari ilmu pengetahuan.
4. Islamisasi Melayu-Nusantara dapat di lihat kenyataannya dalam struktur bahasa Melayu. Bahasa sendiri memiliki peranan penting dalam konstruksi logika manusia. Bahasa Arab setelah adanya al-Qur’an telah menjadi bahasa saintifik yang kemudian mempengaruhi perkembangan bahasa Melayu. Hal ini dapat dilihat dari serapan kata-kata yang sebagian besarnya mewakili konsep kunci dalam Islam.
5. Sebagaimana bahasa Arab, bahasa Melayu belum terkontaminasi oleh pengaruh bahasa yang memiliki kandungan falsafah estetik sebagaimana Jawa-Kuno, Farsi Kuno atau Yunani-Romawi kuno. Bahasa Melayu masih murni dan dengan perpaduannya dengan bahasa Arab, menjadikannya bahasa yang rasional dan saintifik dan siap digunakan sebagai bahasa pengantar ilmiah dalam keilmuan Islam di alam Melayu.
Bahasa tersebut menjadi ilmiah karena karakteristiknya mampu menyampaikan makna-makna istilah dalam bahasa Arab yang memiliki kekhususan semantik sehingga istilah tersebut menyampaikan maknanya dengan benar dan tidak mudah terdistorsi.
6. Islam dengan semangat rasionalisme dan intelektualisme telah merevolusi pandangan alam masyarakat dunia Melayu dan membebaskannya dari belenggu mitos, takhayul dan kecenderungan sekular. Kecenderungan sekular yang dimaksud di sini adalah agama dan ajarannya hanya digunakan untuk meraih kepentingan duniawi. Seperti misalnya Kartanegara, dafri kerajaan Majapahit yang mengklaim dirinya sudah mencapai level Budha. Atau gelaran yang disandang Gajah Mada yaitu Lembu Moksha: tingkatan spiritual dalam agama Budha yang dapat diibaratkan dengan konsep wusul dan fana dalam tradisi Islam.
7. Ilmuwan Barat gagal melihat kriteria peradaban yang dijelaskan Henri Pirenne—yang dikutip oleh Al-Attas—perihal jaman baru (new age), sehingga melihat pengaruh Hindu-Budha lebih besar ketimbang pengaruh Islam di Melayu-Nusantara. Hal ini timbul dari kekeluruan metodologis yang membuat mereka gagal melihat apa-apa yang menjadi penanda bagi munculnya jaman baru (New Age)—sebagaimana perubahan yang terjadi pada Eropa paska runtuhnya Romawi—namun terlalu asyik dan terpukau dengan sesuatu yang sifatnya estetik, ketimbang yang rasional dan saintifik.
8. Aspek rasional dan saintifik dalam sejarah Islam di Melayu-Nusantara dapat dilihat dari pembahasan karya-karya yang lahir pada masa itu. Bahasan pada masa itu meliputi falsafah dan metafisika yang dibahas oleh golongan ahli kalam dan ahli tasawuf yang meliputi ontologi, kosmologi dan psikologi. Karya-karya inilah yang menjadi pondasi bagi revolusi pandangan alam, khususnya dalam pembahasan perihal wujud atau existence. Selain itu juga bermunculan karya-karya sastra dan sejarah dan dari cabang keilmuan lainnya. Para ulama Melayu-Nusantara pun terlibat aktif dalam diskursus keilmuan di Timur Tengah pada masa itu.
9. Konsekuensi dari terbuktinya fakta sejarah tentang revolusi pandangan alam di Melayu-Nusantara tersebut, maka teori-teori seperti otoktoni; bahwa Islam dan agama-agama lain tidak mengubah apa-apa. Agama-agama tersebut hanya tampak pada lapisan luar, sementara yang ada di dalamnya adalah ajaran, kepercayaan dan nilai-nilai lokal, telahpun terbantahkan. Islam pada masa itu telah membawa masyarakat Melayu-Nusantara untuk turut terlibat dalam pembicaraan ilmiah bertaraf global.
10. Dampak kolonialisme membuat sebagian dari penduduk Indonesia dan Malaysia menganggap sejarah sebagai suatu yang kelam dan oleh karenanya Barat datang dengan membawa semangat rasionalisme sehingga masyarakat di wilayah ini tercerahkan.
Anggapan ini berada pada benak seseorang yang ahistoris dan tidak lagi mengenal apa yang terkandung dalam peradabannya. Kolonialisme telah membuat masyarakat Melayu-Indonesia meninggalkan huruf Jawi, yang diadopsi dari huruf Arab, dengan menggantinya dengan huruf latin. Hal ini juga terjadi di Turki karena pengaruh sekularisme yang di bawa oleh Attaturk.
11. Para ilmuwan Belanda dan Inggris yang mengkaji sejarah, kebudayaan dan kesusasteraan Melayu-Nusantara, bagi Al-Attas, pada masa itu belum mencapai taraf ilmiah yang tinggi sebagaimana para orientalis Barat lainnya yang mengkaji kesusasteraan Farsi (seperti Oppert, West, Gieger dan Kuhn). Dalam memahami Farsi, mereka sadar akan pentingnya penguasaan bahasa dan kesusasteraan Arab.
11. Untuk itu penting bagi kita orang Melayu-Nusantara terkhusus Aceh, dimana Aceh sebagai pusat peradaban Melayu-Indonesia untuk mengenal sejarah dan mengenal falsafah, metodologi dan pendekatan sejarah dengan benar sehingga mengetahui akar persoalan pendapat orientalis yang bias dalam kajian Melayu-Nusantara.
Semangat rasional dan saintifik yang diartikan dalam pandangan Islam ini harus terus dikembangkan dengan cara-cara yang benar sehingga tidak membawa pada kesimpulan yang keliru.
Masih ada hal-hal penting lainnya dalam karya Al-Attas yang belun dapat diuraikan kali ini. Karya yang sudah berusia empat dasawarsa ini masih sangat relevan untuk dibaca, bahkan dapat menjadi panduan dalam kajian sejarah Aceh, Melayu dan Nusantara.
Penulis: Jabal Ali Husin Sab
Posting Komentar