Ilustrasi |
Di bagian
pengantar buku The Origins of Political
Orders (2011), Francis Fukuyama menggambarkan kebudayaan patron-klien di
Papua New Guniea (PNG) yang menjadi satu faktor hambatan dalam demokrasi.
Secara kultural, struktur masyarakat PNG terbagi dalam suku-suku. Kepala suku
bertugas menjamin distribusi sumberdaya bagi anggota sukunya sebagai simbol
perlindungannya terhadap sukunya.
Masalahnya
adalah ketika PNG menjadi negara modern yang demokratis, praktik tersebut tetap
berjalan dengan pola baru. Seorang politisi yang berasal dari puak tertentu
tetap memainkan perannya dalam mendistribusikan kekayaan kepada anggota sukunya
dengan memanfaatkan jabatan politiknya. Hal ini merupakan masalah besar dalam
sebuah negara demokrasi.
Pola-pola
distribusi sumberdaya yang dulunya dibagi dari hasil perburuan, hasil panen
pertanian dan perkebunan, kini menjadikan anggaran negara sebagai sumber
kekayaan yang digerorogoti untuk didistribusikan kepada kelompoknya.
Penggerogotan dan penyalahgunaan anggaran negara demi kepentingan sejumlah
keolompok merupakan masalah terbesar di negara dunia ketiga yang kononnya
menerapkan sistem demokrasi.
Secara praktik
di lapangan, politisi bekerja dalam proses distribusi kekayaan bagi
konstituennya sebagai balas budi atas kerja-kerja politik konstituen.
Distribusi kekayaan yang tersekat hanya sampai pada kelompok-kelompok tertentu.
Hal tersebut yang menjadikan politik kita hari ini tidak dapat disebut demokrasi
namun lebih layak disebut oligarki, sebagaimana yang telah diungkapkan sejumlah
ilmuwan politik.
Tarung politik
hari ini tidak terlepas dari ashabiyah (solidaritas kelompok) sebagaimana yang
dijelaskan Ibnu Khaldun, hanya saja struktur masyarakat modern hari ini tidak
terikat dengan sistem kesukuan (tribalisme). Meski ikatan kekeluargaan atau
perkauman (kaom) tetap berperan dalam membentuk sebuah faksi politik dan membangun
sebuah gerakan politik bahkan hingga melahirkan praktik politik dinasti.
Pada masyarakat
modern yang juga masih sedikit terikat dengan primordialisme, ikatan kelompok
terbentuk dan terbangun dengan daya rekat yang lebih longgar dan cair. Ikatan
kepentingan yang saling menguntungkan (ekonomi-politik) menjadi faktor
pengikat, di samping juga ada faktor lainnya. Yang terjadi adalah terbentuknya ikatan
patron-klien yang terwujud dalam pola distribusi sumberdaya. Patron mempunyai
kekuatan ekonomi-politik untuk melakukan distribusi sumberdaya sehingga
jejaring distribusi sumberdaya ini berdiri kokoh sebagai sebuah faksi politik.
Dalam
perspektif politik lokal. Ini apa yang disebut dengan local strongmen oleh Migdal (1988) atau local bossism oleh John Sidel (2004) dengan studi perbandingan di
Thailand, Filiphina dan Indonesia. Di Thailand, bos lokal ini disebut Chao Bao.
Chao Bao mampu menekan para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sejumlah
anggaran bagi kepentingan kelompoknya, menghasilkan regulasi yang
menguntungkan, memberi konsesi lahan hingga menempatkan sejumlah anggota parlemen
dan jabatan eksekutif di daerah yang berasal dari jejaringnya guna memuluskan
tujuan-tujuan ekonomi-politiknya di masa depan dan mengekalkan persaingan
dengan kelompok lain.
Dilema Desentralisasi
Vedi R. Hadiz,
ilmuwan politik asal Indonesia yang bermukim di Australia menyatakan bahwa
desentralisasi hari ini telah berdampak negatif dengan muncul dan berkembangnya
praktik oligarki di tingkat lokal. Praktik ini dimainkan oleh jejaring
subordinat Orde Baru yang sebelumnya hidup dalam jejaring patron-klien terpusat
era Orba yang kemudian menjadi mandiri dan membentuk jejaring serupa pasca
keruntuhan Orba. Jejaring yang ia sebut elit predator lokal ini menggerogoti
anggaran negara untuk didistribusikan guna kepentingan kelompoknya.
Hadiz juga
menyorot desentralisasi yang merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal ini
sebagai langkah bagi masuknya modal luar yang bersekongkol dengan elit lokal
untuk praktik ekonomi kapitalistik yang eksploitatif. Dalam praktik riil,
perusahaan eksplorasi sumber daya alam bisa masuk ke daerah dengan mudah melalui
prosedur yang dilaksanakan di tingkat lokal dan sedikit pengurusan administrasi
di pusat. Proses ini melibatkan persekongkolan dengan elit lokal dalam
prosesnya yang memberikan keuntungan ekonomi.
Dengan kekuatan
modal, maka potensi jejaring ini untuk mengukuhkan kekuasaannya dengan
melibatkan sejumlah orang tertentu untuk bekerja kepadanya, khususnya kepada mereka
yang memegang jabatan di parlemen dan elit birokrat. Dengan pendistribusian
sumberdaya dan perlindungan kepentingan menggunakan kekuatan yang dimiliki,
maka jejaring akan tetap kokoh dan bekerja.
Jalan Keluar
Dari apa yang penulis
amati, praktik oligarki dalam politik lokal di berbagai daerah agaknya terkesan
seperti sebuah keniscayaan. Penjelasan di atas telahpun dipraktekkan oleh
sejumlah elit-elit predator di tingkat lokal. Hal ini patut menambah sikap
pesimis terhadap demokrasi secara umum dan desentralisasi dan otonomi daerah
secara khusus. Harapan yang dimiliki berada pada proses penegakan hukum,
khususnya KPK untuk terus menyorot pejabat pemerintah daerah dan para elit di
daerah.
Perangkat
hukum yang dimiliki di pusat harus memainkan fungsi pengawasan dan penegakan
hukum yang maksimal, mengingat distribusi kekuasaan dan wewenang juga berarti
bertambah luasnya potensi jumlah aktor-aktor yang melakukan pelanggaran hukum,
mengingat kekuasaan cenderung memberikan peluang terhadap penyelewengan kuasa.
Mata rantai
jejaring elit predator perlu dilawan dengan upaya radikal dalam penyadaran
politik di tingkat daerah untuk melepas masyarakat dari belenggu persekongkolan
para elit. Kita memerlukan masyarakat yang mandiri secara ekonomi dan sadar
secara politik sehingga menjadi merdeka dari kecenderungan untuk terlibat dalam
mendukung dan melanggengkan jejaring kekuasaan para elit predator.
Telah dimuat di harian Serambi Indonesia.
Posting Komentar