Rabu, 18 Januari 2017

Masalah Desentralisasi dan Praktik Politik Lokal di Indonesia

Ilustrasi
Di bagian pengantar buku The Origins of Political Orders (2011), Francis Fukuyama menggambarkan kebudayaan patron-klien di Papua New Guniea (PNG) yang menjadi satu faktor hambatan dalam demokrasi. Secara kultural, struktur masyarakat PNG terbagi dalam suku-suku. Kepala suku bertugas menjamin distribusi sumberdaya bagi anggota sukunya sebagai simbol perlindungannya terhadap sukunya.
Masalahnya adalah ketika PNG menjadi negara modern yang demokratis, praktik tersebut tetap berjalan dengan pola baru. Seorang politisi yang berasal dari puak tertentu tetap memainkan perannya dalam mendistribusikan kekayaan kepada anggota sukunya dengan memanfaatkan jabatan politiknya. Hal ini merupakan masalah besar dalam sebuah negara demokrasi.
Pola-pola distribusi sumberdaya yang dulunya dibagi dari hasil perburuan, hasil panen pertanian dan perkebunan, kini menjadikan anggaran negara sebagai sumber kekayaan yang digerorogoti untuk didistribusikan kepada kelompoknya. Penggerogotan dan penyalahgunaan anggaran negara demi kepentingan sejumlah keolompok merupakan masalah terbesar di negara dunia ketiga yang kononnya menerapkan sistem demokrasi.
Secara praktik di lapangan, politisi bekerja dalam proses distribusi kekayaan bagi konstituennya sebagai balas budi atas kerja-kerja politik konstituen. Distribusi kekayaan yang tersekat hanya sampai pada kelompok-kelompok tertentu. Hal tersebut yang menjadikan politik kita hari ini tidak dapat disebut demokrasi namun lebih layak disebut oligarki, sebagaimana yang telah diungkapkan sejumlah ilmuwan politik.
Tarung politik hari ini tidak terlepas dari ashabiyah (solidaritas kelompok) sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Khaldun, hanya saja struktur masyarakat modern hari ini tidak terikat dengan sistem kesukuan (tribalisme). Meski ikatan kekeluargaan atau perkauman (kaom) tetap berperan dalam membentuk sebuah faksi politik dan membangun sebuah gerakan politik bahkan hingga melahirkan praktik politik dinasti.
Pada masyarakat modern yang juga masih sedikit terikat dengan primordialisme, ikatan kelompok terbentuk dan terbangun dengan daya rekat yang lebih longgar dan cair. Ikatan kepentingan yang saling menguntungkan (ekonomi-politik) menjadi faktor pengikat, di samping juga ada faktor lainnya. Yang terjadi adalah terbentuknya ikatan patron-klien yang terwujud dalam pola distribusi sumberdaya. Patron mempunyai kekuatan ekonomi-politik untuk melakukan distribusi sumberdaya sehingga jejaring distribusi sumberdaya ini berdiri kokoh sebagai sebuah faksi politik.
Dalam perspektif politik lokal. Ini apa yang disebut dengan local strongmen oleh Migdal (1988) atau local bossism oleh John Sidel (2004) dengan studi perbandingan di Thailand, Filiphina dan Indonesia. Di Thailand, bos lokal ini disebut Chao Bao. Chao Bao mampu menekan para pengambil kebijakan untuk mengalokasikan sejumlah anggaran bagi kepentingan kelompoknya, menghasilkan regulasi yang menguntungkan, memberi konsesi lahan hingga menempatkan sejumlah anggota parlemen dan jabatan eksekutif di daerah yang berasal dari jejaringnya guna memuluskan tujuan-tujuan ekonomi-politiknya di masa depan dan mengekalkan persaingan dengan kelompok lain.
Dilema Desentralisasi
Vedi R. Hadiz, ilmuwan politik asal Indonesia yang bermukim di Australia menyatakan bahwa desentralisasi hari ini telah berdampak negatif dengan muncul dan berkembangnya praktik oligarki di tingkat lokal. Praktik ini dimainkan oleh jejaring subordinat Orde Baru yang sebelumnya hidup dalam jejaring patron-klien terpusat era Orba yang kemudian menjadi mandiri dan membentuk jejaring serupa pasca keruntuhan Orba. Jejaring yang ia sebut elit predator lokal ini menggerogoti anggaran negara untuk didistribusikan guna kepentingan kelompoknya.
Hadiz juga menyorot desentralisasi yang merupakan konsekuensi dari demokrasi liberal ini sebagai langkah bagi masuknya modal luar yang bersekongkol dengan elit lokal untuk praktik ekonomi kapitalistik yang eksploitatif. Dalam praktik riil, perusahaan eksplorasi sumber daya alam bisa masuk ke daerah dengan mudah melalui prosedur yang dilaksanakan di tingkat lokal dan sedikit pengurusan administrasi di pusat. Proses ini melibatkan persekongkolan dengan elit lokal dalam prosesnya yang memberikan keuntungan ekonomi.
Dengan kekuatan modal, maka potensi jejaring ini untuk mengukuhkan kekuasaannya dengan melibatkan sejumlah orang tertentu untuk bekerja kepadanya, khususnya kepada mereka yang memegang jabatan di parlemen dan elit birokrat. Dengan pendistribusian sumberdaya dan perlindungan kepentingan menggunakan kekuatan yang dimiliki, maka jejaring akan tetap kokoh dan bekerja.
Jalan Keluar
Dari apa yang penulis amati, praktik oligarki dalam politik lokal di berbagai daerah agaknya terkesan seperti sebuah keniscayaan. Penjelasan di atas telahpun dipraktekkan oleh sejumlah elit-elit predator di tingkat lokal. Hal ini patut menambah sikap pesimis terhadap demokrasi secara umum dan desentralisasi dan otonomi daerah secara khusus. Harapan yang dimiliki berada pada proses penegakan hukum, khususnya KPK untuk terus menyorot pejabat pemerintah daerah dan para elit di daerah.
Perangkat hukum yang dimiliki di pusat harus memainkan fungsi pengawasan dan penegakan hukum yang maksimal, mengingat distribusi kekuasaan dan wewenang juga berarti bertambah luasnya potensi jumlah aktor-aktor yang melakukan pelanggaran hukum, mengingat kekuasaan cenderung memberikan peluang terhadap penyelewengan kuasa.

Mata rantai jejaring elit predator perlu dilawan dengan upaya radikal dalam penyadaran politik di tingkat daerah untuk melepas masyarakat dari belenggu persekongkolan para elit. Kita memerlukan masyarakat yang mandiri secara ekonomi dan sadar secara politik sehingga menjadi merdeka dari kecenderungan untuk terlibat dalam mendukung dan melanggengkan jejaring kekuasaan para elit predator.
Telah dimuat di harian Serambi Indonesia.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search