Mustafa
Kemal Pasha merupakan tokoh reformasi sekuler-radikal Turki. Melalui "soft
coup" bersama pihak militer dan jajaran birokrasi dan para pengikutnya, ia
berhasil mengakhiri era Kekhalifahan Usmaniyah dan mendirikan Republik Turki
modern pada tanggal 28 februari 1927. Kemal kemudian terpilih menjadi presiden
pertama republik sekuler tersebut pada
tanggal 29 November 1923.
Ia
memastikan sekulerisme sebagai ideologi negara. Menurut Turkayya Ataov (The Principles of Kemalism, 1981). Sekularisme di Turki memiliki karakteristik
tersendiri. Sekularisme Turki merupakan interpretasi Kemal dalam menggabungkan
dan menerjemahkan konsep-konsep politik modern; nasionalisme, sekulerisme,
reformisme, statisme, populisme dan republikanisme yang melahirkan konsep dasar
Turki baru ini yang dikenal dengan Kemalisme.
Setelah
menggulingkan Kekhalifahan Islam Usmaniyah, ia juga berusaha menyingkirkan
seluruh peninggalan dari dinasti Islam ini. Kejayaan Ustmani pernah menguasai
sebagian besar dunia Islam. Menjadi representasi simbolik kekuatan Islam dalam
sejarah dunia. Juga menjadi standar patokan ideal Kekhalifahan Islam bagi sebagian
muslim yang berkutat di seputar wacana politik alternatif masa itu,
Pan-Islamisme.
Penolakan
ideologisnya terhadap kredo lama yang mengakar dalam budaya Turki membuatnya
melancarkan revolusi budaya sebagai bagian dari konsep Kemalisme. Ia menetapkan
bahasa Turki sebagai bahasa nasional seraya menyingkirkan banyak bahasa yang
digunakan di Kekhalifahan Ustmani. Kemal menganjurkan adzan dan pembacaan ayat
suci Alquran yang di seluruh dunia manapun menggunakan bahasa Arab, diganti
dengan bahasa Turki. (H. A. Mukti Ali, 1994).
Visi
Kemal dalam mengotorisasi pendekatan sekular dalam pengelolaan masyarakat, ia mempertentangkan
pemikirinnya secara langsung dengan Islam yang telah mengakar dalam masyarakat
Turki selama pemerintahan Utsmani.
Kerudung
dan penutup kepala dilarang bagi perempuan, sementara laki-laki dilarang
berjanggut dan bersorban. Termasuk larangan memakai Tarbush yang legendaris,
peci merah panjang yang dianggap identik dengan dinasti Usmani. Hingga
memperkenalkan kebiasaan barat seperti dansa ballroom sebagai hiburan resmi pada acara-acara kenegaraan. Hal ini
mengejutkan kalangan agamawan (Tamim Ansary, 2012).
Ia
juga melahirkan kebijakan larangan poligami, tidak menganjurkan pemberian
mahar, mencela adat pernikahan tradisional dan mensponsori aturan baru untuk
perceraian berdasarkan aturan sipil Swiss, bukan Alquran dan hadist. Lebih dari
itu, ia mengganti hari libur pekerja dari jumat ke minggu, menutup tarekat sufi
dan menghapuskan waqf—yayasan amal berbasis Islam yang telah lama ada—dan
diganti dengan layanan sosial yang diatur negara. (Suwiryadi, 1950).
Kemal
sendiri memahami sekulerisme menuntut proses modernisasi yang sejalan dengan
westernisasi. Sebuah anggapan yang kini diperdebatkan dan dianggap dua konsep yang
berbeda. Sekularisasi Turki yang yang bertujuan untuk menciptakan Turki baru
yang modern menjadi tanda tanya. Kemalisme justu melahirkan corak pemerintahan
yang otokratik. Hal ini bertentangan dengan demokrasi yang merupakan yang
menjadi prasyarat mutlak sebuah negara modern. Setelah Kemal Pasya berhenti
berkuasa, militer secara de facto berkuasa melalui pemerintahan partai tunggal di bawah Partai
Rakyat Republik atau Cumhurutiye Halk
Partisi/ Republican People’s Party
(CHP).
Kemalisme
sebagai ideologi pembaruan kemudian lebih terkesan seperti doktrin tunggal
negara yang kaku. Segala tindakan yang berlawanan dan penentangan terhadap
idoelogi negara merupakan hal tabu, bahkan dikategorikan tindakan subversif.
Telah terjadi empat kali kudeta militer dalam kurun waktu 50 tahun terakhir
dengan alasan apologis-patriotik, sebagai penyelamatan atas nilai-nilai
sekulerisme Turki (kudeta kelima terjadi pada 16/7/2016).
Pada
tahun 1997, pemilu Turki dimenangkan oleh
Partai Refah yang berafiliasi dengan kelompok Islam. Necmettin Erbakan
menjabat sebagai Perdana Menteri sebelum akhirnya terguling melalui keputusan
Mahkamah Konstitusi yang membubarkan Partai Refah dan melarang aktifitas
politik Erbakan selaku pimpinan Partai Refah. Necmettin Erbakan terpaksa
meletakkan jabatannya.
Sepuluh
tahun pasca tergulingnya Erbakan, kekuatan politik Islam Turki yang sebelumnya
mendukung Erbakan tak dapat dibendung. Momentum baru pasca dibubarkannya Partai
Refah adalah terbentuknya partai baru, Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP).
Pada
tanggal 28 agustus 2007, Abdullah Gul dilantik menjadi Presiden baru di Turki,
menggantikan Presiden Ahmet Necdet Sezer setelah kemenangan yang diraih pada
pemilihan \ yang diselenggarakan pada hari Jum’at, 27 April 2007.
Berbagai
kontroversi dari pihak pro sekular dan militer sudah timbul dari awal
pencalonan Abdullah Gul menjadi Presiden oleh Perdana Menteri Recep Tayyib
Erdogan. Mereka khawatir Gul dan Erdogan mempunyai agenda Islam tersembunyi
yang akan membahayakan dan mengganti konstitusi sekular di negeri itu. Terlebih
istri Gul, Hayrunnisa menggunakan jilbab, yang berdasarkan undang-undang jilbab
dilarang dikenakan di kantor pemerintahan dan sekolah. Kemenangan tersebut
berujung aksi massa yang memprotes hasil pemilu.
Kubu
sekular sejak semula curiga bahwa calon presiden dari AKP akan memperjuangkan
sistem politik berbasis Islam, menggeser sekularisme yang sudah menjadi
ideologi Turki sejak dicanangkan oleh Mustafa Kemal Attartuk tahun 1923.
Sebenarnya calon presiden yang diajukan AKP adalah PM Recep Tayyib Erdogan.
Karena mendapat pertentangan keras, maka akhirnya AKP mengusung Menteri luar
Negeri Abdullah Gul. Namun yang terakhir ini pun tetap dianggap akan membawa
pengaruh Islam di negara sekuler Turki.
Penentang
tidak saja datang dari partai oposisi, Partai Rakyat Republik (CHP), partai
yang mengusung sekularisme, melainkan juga dari militer. Panglima tertinggi
militer Turki Yassar Buyukanit menyampaikan pernyataan bahwa mereka dapat
mengintervensi jika proses pemilu mengancam diabaikannya sekularisme Turki.
Atas
tuntutan Partai rakyat Republik (CHP), akhirnya hasil pemilihan presiden
putaran pertama dibatalkan oleh Pengadilan Konstitusi (PK) karena dianggap
jumlah anggota parlemen yang memilih tidak mencapai njumlah 2/3 anggota
parlemen sesuai yang persyaratan. Sebenarnya, jika pemilihan putaran pertama
tidak dibatalkan oleh keputusan Pengadilan Konstitusi, dapat dilakukan pemilihan
putaran kedua. Sebagai konsekuensi dari keputusan PK, maka diadakan pemilihan
ulang putaran pertama pada hari Minggu tanggal 6 Mei 2007.
Pemilihan
di parlemen ini masih gagal untuk mencapai kuorum peserta pemilihan, karena
kembali diboikot pihak oposisi. Maka sebagai konsekuensi, pemerintah harus
mempercepat pemilu legislatif yang seharusnya dilaksanakan pada November 2007
menjadi dilaksanakan tanggal 22 Juli 2007.
Sekitar
42 juta orang berhak memberikan suara pada pemilu dimana 14 partai berusaha
memenangkan kursi pada parlemen yang beranggotakan 550 orang. Sehingga melalui
hasil suara, Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang mencalonkan Abdullah
Gul menjadi Presiden meraih suara terbanyak. AKP memperoleh 48 persen suara
secara nasional atau 339 suara dari 550 anggota di parlemen. Sedangkan dua dari
partai sekuler yang meraih suara terbanyak diantaranya yaitu Partai Rakyat
Republik (CHP) mendapatkan 21 persen berada pada posisi kedua, dan Partai Gerakan
Nasional (MHP) dengan 14 persen suara. Selain itu, 20 kandidat dari kalangan
independen juga mendapatkan kursi di parlemen, termasuk politisi pro-Kurdi.
Kali ini AKP secara de facto berhasil
memenangkan pemilu, menguasai parlemen dan mendapatkan jabatan Presiden dan
Perdana Menteri sekaligus. AKP merupakan kekuatan politik Islam yang selamat
dari serangan kelompok pro sekular,
khususnya militer, hingga secara resmi menguasai pemerintahan Turki. Sejak saat
itu Turki telah berubah, ideologi Kemalisme sedikit demi sedikit bergeser dan
AKP menjadi representasi politik Islam yang telah membawa Turki memasuki era
baru.
Posting Komentar