Senin, 23 Januari 2017

Revolusi Sains Menurut Thomas Kuhn*

Thomas Kuhn

Oleh: Syah Reza*
Pendahuluan
Dialektika yang muncul dalam literatur filsafat Barat mengenai sains menjadi pembahasan yang penting. Mengingat benturan antar teori dan pemikiran sains dari para ilmuwan terus bergulir sejak masa renaisance hingga posmodern. Setelah sains bersatu dengan teknologi pada pertengahan abad ke-19, ia menjadi kekuatan penting dan sentral dalam perubahan sosial dan budaya bagi masyarakat. 
Karena wdaya tarik sains dan teknologi yang begitu tersebar luas ke dalam pikiran manusia. Sehingga pengaruhnya telah mewarnai seluruh masyarakat dunia dari Timur  hingga Barat. Efek yang dominan ini dipengaruhi kuat oleh model epistemologi yang berkembang terutama rasionalisme dan empirisisme.
Kecenderungan masyarakat ilmuwan untuk menikmati sains yang dirumuskan bersama dengan paradigmanya, membuat rasa ingin tahu yang mendalam oleh sebagian ilmuwan lainnya, seperti yang dialami Thomas Kuhn. Ia melihat adanya ketidakpedulian terhadap sesuatu yang ada dibalik sains itu. Di satu pihak masyarakat hanya menikmati sains dalam skala praktis, di pihak lain para ilmuwan menerapkan penelitian dan eksperimennya dengan kadar persepsinya terhadap alam yang menurutnya sudah tepat. Kedua sikap tersebut menuntun Kuhn untuk melakukan sebuah upaya mengungkapkan bahwa sains berkembang tidak bisa lepas dari paradigma para ilmwuan. Maka Kuhn ingin mencetuskan apa yang ia sebut sebagai revolusi sains (scientific revolution). Dalam tulisan ini kita akan melihat bagaimana revolusi sains yang dimaksud oleh Kuhn dan problem yang mengitari fenomena sains saat ini.

Biografi singkat
Thomas Samuel Kuhn (18 Juli 1922 – 17 Juni 1996) lahir di Cincinnati, Ohio.  Ia adalah seorang  Fisikawan Amerika dan filsuf yang menulis secara ekstensif tentang sejarah ilmu pengetahuan dan mengembangkan gagasan beberapa penting  dalam sosiologi dan filsafat ilmu. Thomas Kuhn memperoleh gelar BS dalam fisika di Universitas Harvard tahun 1943. Kemudian ia menyelesaikan MS dan Ph.D. Jurusan Fisika pada tahun 1946 dan 1949. Sebagaimana ia menyatakan dalam beberapa halaman pertama dari kata pendahuluan untuk edisi kedua dari The Structure of Scientific Revolutions, tiga tahun mendapat bebas akademik sebagai Junior Fellow Harvard membuat dia untuk beralih dari fisika ke dalam sejarah (dan filsafat) ilmu pengetahuan.  Sejak tahun 1948 sampai 1956 atas saran presiden universitas James Conant, Dia kemudian mengajar kursus dalam sejarah ilmu di Harvard. Kemudian setelah meninggalkan Harvard, Kuhn mengajar di University of California, Berkeley , di departemen filsafat dan departemen sejarah, sebagai Profesor Sejarah Ilmu Pengetahuan di 1961. Di Berkeley, ia menulis dan menerbitkan (1962) karyanya paling dikenal dan paling berpengaruh: [1] The Structure of Scientific Revolutions . Pada tahun 1964, ia bergabung Princeton University sebagai Profesor Taylor M. Pyne Filsafat dan Sejarah Ilmu Pengetahuan.
Pada tahun 1979, ia bergabung dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai Laurance Rockefeller S. Profesor Filsafat, yang tersisa di sana sampai 1991. Kuhn diwawancarai dan direkam fisikawan Denmark Niels Bohr hari sebelum kematian Bohr. Pada tahun 1994, Kuhn didiagnosa menderita kanker dari tabung bronkial, di mana ia meninggal pada tahun 1996.[2]
Pengertian  Revolusi
Istilah revolusi bisa diartikan sebuah perubahan sosial dan kebudayaan yang berlangsung secara cepat dan menyangkut dasar atau pokok-pokok kehidupan masyarakat. Di dalam revolusi, perubahan yang terjadi dapat direncanakan atau tanpa direncanakan terlebih dahulu. Ia bisa dijalankan dengan bentuk kekerasan ataupun tidak. Ukuran kecepatan suatu perubahan sebenarnya relatif karena revolusi pun dapat memakan waktu lama. Misalnya revolusi industri di Inggris yang memakan waktu puluhan tahun, namun dianggap ‘cepat’ karena mampu mengubah sendi-sendi pokok kehidupan masyarakat —seperti sistem kekeluargaan dan hubungan antara buruh dan majikan— yang telah berlangsung selama ratusan tahun. Revolusi menghendaki suatu upaya untuk merobohkan, menjebol, dan membangun dari sistem lama kepada suatu sistem yang sama sekali baru.[3]
Perubahan yang dihasilkan dari revolusi tidak hanya karena figur pemimpin, namun juga segenap elemen perjuangan beserta sarananya. Revolusi akan muncul disaat waktu mengharuskan ia hadir. Ketika seluruh komponen masyarakat melihat ada sistem yang berjalan namun tidak mampu menjadi alternatif untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat, di saat itulah revolusi dimulai. Telah banyak tugu peringatan dan museum yang melukiskan keperkasaan dan kemasyhuran ravolusi di banyak negara yang telah menjalankan revolusi seperti yang terdapat di Vietnam, Rusia, Iran, China, Indonesia, dan banyak negara lainnya. Menjebol dan membangun merupakan bagian integral yang menjadi bukti fisik revolusi. Tatanan lama yang busuk dan menyesatkan serta menyengsarakan rakyat, diubah menjadi tatanan yang besar peranannya untuk rakyat, seperti di Bolivia, setelah Hugo Chavez menjadi presiden ia segera merombak tatanan agraria, di mana tanah untuk rakyat sungguh diutamakan yang menyingkirkan dominasi para tuan tanah di banyak daerah di negeri itu. Jika dilihat dari bukti-bukti sejarah, sebenarnya istilah revolusi identik dengan perubahan  politik dan sosial masyarakat.
Dalam pengertian umum, revolusi mencakup jenis perubahan apapun yang memenuhi syarat-syarat tersebut. Misalnya revolusi industri yang mengubah wajah dunia menjadi modern.  Sejarah modern mencatat dan mengambil rujukan revolusi mula-mula pada revolusi Perancis, kemudian  revolusi Amerika. Namun, revolusi Amerika lebih merupakan sebuah pemberontakan untuk mendapatkan kemerdekaan nasional, ketimbang sebuah revolusi masyarakat yang bersifat domestik seperti pada revolusi Perancis. Begitu juga dengan revolusi pada kasus perang kemerdekaan Vietnam dan Indonesia. Maka konsep revolusi kemudian sering dipilah menjadi dua: revolusi sosial dan revolusi nasional[4]
Hal yang lumrah ketika karakter kekerasan terjadi dalam sebuah agenda revolusi. Seperti yang terjadi pada revolusi Rusia pada abad 20.  Revolusi Rusia identik dengan revolusi sosial. Banyak pihak yang membedakan karakter Revolusi Rusia ini dengan Revolusi Perancis, karena karakter kerakyatannya. Sementara Revolusi Perancis kerap disebut sebagai revolusi borjuis, sedangkan Revolusi Rusia disebut Revolusi BolshevikProletar, atau Komunis. Model Revolusi Bolshevik kemudian ditiru dalam Perang Saudara Tiongkok pada 1949.[5]
Perubahan yang dimunculkan dari revolusi tidak selamanya mencirikan sosial dan politik. revolusi sains juga pernah menjadi pembahasan dan terealsiasi dalam dialektika sejarah para ilmuwan.
Objektivitas Sains: Paradigma awal
Wacana tentang objektivitas sains menjadi hal yang penting untuk disinggung sebagai permulaan dari tulisan ini, karena mengingat masalah ini menjadi pokok sentral dari paradigma ilmuwan dalam merumuskan metodologi. Umumnya kalangan positivistik -seperti August Comte- memiliki anggapan bahwa  ilmu itu dapat dicapai secara objektif jika pengetahuan tersebut mampu dibuktikan secara induktif dan berpijak pada metodologi ilmiah yang mampu dibuktikan secara faktual, observasi, eksperimental dan komparasi.[6]  Namun, bagi Kuhn setiap ilmuwan dalam meneliti sesuatu dan menciptakan teori tentu ada “paradigma” yang mendasari proses dalam penelitiannya, maka seorang ilmuan mustahil bisa menolak subjektifitas individu karena paradigma dalam dirinya menentukan arah sebuah penelitian. Dalam sains, paradigma  mengandung unsur asumsi dan prediksi tertentu tentang alam yang dimiliki oleh individu ilmuwan. Karena itu pemahaman seseorang terhadap ilmu pengetahuan tidak pernah bisa bersikap “objektif”, kita harus memperhitungkan bahwa ada unsur subjektif dari individu kita. Kuhn menjelasakan:
“Manusia yang berjuang untuk menyelesaikan suatu problem yang didefinisikan oleh pengetahuan dan teknik yang ada, tidak hanya melihat sekitarnya. Ia tahu apa yang akan ia capai, dan ia mendesain instrumennya dan mengarahkan pemikirannya sejalan dengan itu.”[7]
Para ilmuwan sering mengklaim bahwa konsep-konsep dan teori-teori mereka bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena alam, apa yang sesungguhnya mereka lakukan di dalam sains normal adalah menyusun fenomena berdasarkan konsep-konsep, kejadian per-kejadian. Kegiatan para ilmuwan yang memberikan makna atas konsep-konsep, bukan makna inheren konsep-konsep yang menentukan kegiatan sains. Dengan demikian, ilmuan mengonstruksi realitas untuk disesuaikan dengan gagasan-gagasan yang diyakini sebelumnya.[8]  Dalam bukunya Kuhn juga mengatakan bahwa evolusi sebuah teori ilmiah tidak muncul dari akumulasi sejumlah fakta-fakta, melainkan dari seperangkat perubahan keadaan dari para intelektual dan kemungkinan yang disimpulkannya.[9] Maka unsur individu ilmuwan turut berperan dalam melahirkan sebuah teori dan konsep praktis.
Selain itu, Kuhn juga menjelaskan secara detail tentang unsur subjektif dalam sains. Ia mengatakan bahwa pada dasarnya sains adalah model pemecahan masalah menurut paradigma-pradigma tertentu. Alam tidak mungkin menjelaskan dirinya sendiri. Ia tidak memperlihatkan dirinya menuntut formula atau persamaan-persamaan matematis. Adalah ilmuwan yang memberikan makna terhadap gejala-gejalanya dengan merumuskan bagaimana ia bisa sesuai dengan konsep-konsep dan keyakinan-keyakinan yang ada, dan sejauh mana konsep-konsep dan keyakinan tersebut dimodifikasi dan diperluas untuk mengakomodasikannya. Dengan kata lain, -seperti yang disimpulkan oleh Ziauddin Sardar-  bahwa tidak ada perbedaan yang relevan antara konsep-konsep “teoritis” dan konsep-konsep “faktual” di dalam sains. Kedua macam konsep tersebut adalah  rekaan (invensi) kita.[10] Maka, kemungkinan sikap objektif sulit diraih dalam merumuskan sains.
Problem Normal Science
Selain paradigma -seperti yang telah dijelaskan di atas- hal yang terpenting dalam gagasan Thomas Kuhn adalah Revolusi Sains. Dalam bukunya The Structure of Scientific Revolutions, pembahasan utama yaitu mengungkap paradigma yang terjadi dalam teori dan praktik sains normal yang mengharuskan untuk dilakukan sebuah revolusi. Istilah sains normal atau “normal science” bagi Kuhn dimaknai sebagai “penelitian yang berdasarkan pada satu atau lebih temuan sains, yang untuk sementara waktu diakui oleh suatu komunitas ilmiah sebagai temuan yang menjadi fondasi bagi praktik selanjutnya.”[11] Sains normal, kata Kuhn, berdasarkan pada paradigma bersama (shared paradigm), yaitu yang “terikat oleh aturan dan standar yang sama demi praktik keilmuan. Keterikatan atau kesepakatan tersebut adalah pra-syarat bagi normal science, yaitu sebagai tolak ukur awal untuk keberlangsungan sebuah riset.[12] Paradigma sebagai basis utama yang akan mengarahkan sebuah riset dalam masa sains normal. Aktivitas ilmuwan dalam sains normal hanya fokus pada hal-hal yang praktis dan teoritis secara mendalam. Sehingga sikap kritis ilmuwan tidak  ada pada wilayah sains normal ini, karena di sini para ilmuwan tidak membahas hal-hal yang mendasar.  Makanya, sains normal bagi Kuhn hanyalah sebuah paradigma dari ilmuwan yang konservatif – dengan istilah lain ortodok atau fundamentalis- sebab banyak orang yang mempertahankan kredo dan prinsip-prinsip paradigmatiknya cenderung tidak peduli dengan apapun. Kuhn menjelaskan:
No part of the aim of normal science is to call forth new sorts of phenomena, indeed those that will not fit the box are often not seen at all. Nor do scientist normally aim to invent new theories, and they are often intolerant of those invented by others.” [13]
Selain itu, Kuhn juga menyatakan bahwa ilmuwan bukanlah para penjelajah berwatak pemberani yang menemukan kebenaran-kebenaran baru. Mereka lebih mirip para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Ilmu bukan merupakan upaya untuk menemukan obyektivitas dan kebenaran, melainkan lebih menyerupai upaya pemecahan masalah di dalam pola-pola keyakinan yang telah berlaku.[14]
Penelitian sains normal berdasarkan paradigma tertentu adalah praktik sains yang menghabiskan banyak waktu kebanyakan para ilmuwan. Selama melakukan penelitian tersebut, para ilmuwan terikat oleh beberapa hukum, teori, bahasa, hipotesis dari paradigma. Karena itu, dalam penelitian ini memungkinkan muncul kejadian-kejadian yang tak terduga, disebut anomali.[15]  Pada mulanya anomali-anomali itu diremehkan dan dianggap sebagai kesalahan peneliti dalam memperaktekkan eksperimen ilmiahnya yang memerlukan ketepatan. Namun, anomali-anomali tersebut muncul berulangkali yang akhirnya mengiring paradigma ilmuwan itu kepada krisis. Pemecahan terhadap kondisi krisis ini adalah munculnya paradigma baru dan ditolaknya paradigma lama. Akhirnya, kebanyakan komunitas sains mengalami konversi (perpindahan) kepada paradigma yang baru yang mengantarkan kepada paradigma yang lain, seperti halnya orang yang berpindah dari satu agama ke agama yang lain, yaitu suatu periode terbaru dari sains normal. Kejadian ini yang kemudian diistilahkan oleh Kuhn sebagai revolusi sains atau “Scientific Revolution.”[16]
Maka di sini Kuhn mempertegas bahwa perkembangan sains terjadi karena adanya paradigma yang lebih baru dan lebih maju dalam hal revolusi sains. Proses perkembangan tersebut adalah revolusi dari permulaan yang asli – yaitu suatu proses  di mana tingkatan-tingkatannya ditandai oleh pemahaman terhadap alam yang semakin detail dan canggih.[17]
Proses Revolusi Sains
Revolusi sains dapat dianggap sebagai episode perkembangan non-komulatif yang di dalamnya paradigma yang lama diganti seluruhnya atau sebagian oleh paradigma baru yang bertentangan.[18] Paradigma baru ini lebih memungkinkan menyelesaikan anomali-anomali yang dari paradigma lama. Pada proses revolusi sains ini, hampir seluruh kosakata, istilah-istilah, konsep-konsep, idiom-idiom, cara penyelesaian persoalan, cara berfikir, cara mendekati persoalan berubah dengan sendirinya. Tentu perangkat yang lama yang mungkin masih relevan untuk difungsikan tetap tidak dikesampingkan. Tetapi, jika cara pemecahan persoalan model lama memang sama sekali tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan yang datang kemudian, maka secara otomatis dibutuhkan seperangkat cara, rumusan dan wawasan yang sama sekali baru untuk memecahkan persoalan-persoalan yang baru , yang timbul akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang berakibat pula pada perluasan wawasan dan pengalaman manusia itu sendiri.[19] Seperti contoh ketika geosentris berubah kepada heliosentris, dari flogiston kepada oksigen, atau dari korpuskel kepada gelombang, ini merupakan sebuah tranformasi konseptual dari paradigma yang telah ditetapkan sebelumnya tidak kurang destruktif secara menentukan. Kita malah akan memandang bahwa ini adalah sebuah contoh yang revolusioner dalam sains.[20]
Ia menggambarkan bermulanya revolusi sains secara jelas: “Sains normal…sering menindas kebaruan-kebaruan fundamental karena mereka pasti bersifat subversif terhadap komitmen dasarnya…(namun) ketika profesi tak bisa lagi mengelak dari anomali-anomali yang merongrong tradisi praktek ilmiah yang sudah ada…”,[21] maka dimulailah investigasi yang berada di luar kelaziman. Suatu titik tercapai ketika krisis hanya bisa dipecahkan secara revolusi di mana paradigma lama memberikan jalan bagi perumusan paradigma baru. Demikianlah “sains revolusioner” mengambil alih. Namun apa yang sebelumnya pernah mengalami revolusi itu juga dengan sendirinya akan mapan dan menjadi ortodoksi baru, dalam arti sains normal yang baru. Jadi menurut Kuhn, ilmu berkembang melalui siklus-siklus: sains normal diikuti oleh revolusi yang diikuti lagi oleh sains normal dan kemudian diikuti lagi oleh revolusi.[22]
Dalam pemahmannya juga tidak ditemukan kriteria sains secara konkrit yang digambarkannya. Mengingat kriteria masih menjadi bagian dari metodologi. Semua persoalan dalam sains terletak pada paradigma seorang ilmuwan, maka yang terpenting menurutnya adalah mengkonstruksi paradigma ilmuwan lebih penting dibandingkan metodologi.
Contoh Revolusi Sains
Untuk memperjelas gambaran bagaimana proses revolusi sains atau dengan istilah lain benturan paradigma secara ril  berkembang dalam teori dan disiplin ilmu, baiknya cukup mengambil beberapa contoh diantaranya:
               1.   Teori Copernicus dan Ptolemeus
Copernicus memiliki teori bahwa bumi berputar mengelilingi matahari, bukan saran Ptolemeus bahwa Matahari (dan planet-planet lain dan bintang-bintang) berputar mengelilingi bumi. Sebelum Copernicus ada, set yang rumit epicycles (lingkaran di atas lingkaran) yang digunakan untuk memprediksi pergerakan ‘benda langit’. Epicyclic asli Ptolmey kombinasi itu, oleh Abad Pertengahan, menjadi terlihat kurang memadai, dan ‘memperbaiki’; oleh astronom kemudian dan lebih rumit. Copernicus menawarkan kembali ke pandangan alternatif (disarankan oleh banyak orang di Antiquity), tetapi dengan banyak data yang lebih baik untuk mendukungnya; hal baru ini menurunkan kompleksitas teori yang diperlukan untuk menjelaskan pengamatan yang tersedia. Tentu saja, ketika diungkapkan oleh Copernicus ’teori ini diterima oleh para astronom lain, ini merupakan salah satu contoh yang menandai masuknya periode baru ’sains normal‘.[23]
Menurut Kuhn, ilmu sebelum dan sesudah terjadi pergeseran paradigma begitu yakin bahwa teori-teori mereka para ilmuwan merasa tak tertandingi. Ketika terjadi pergeseran paradigma maka secara simultan tidak hanya mengubah teori saja, hal itu akan mengubah cara, kata-kata yang didefinisikan, cara para ilmuwan melihat subjek, dan mungkin yang paling penting pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sah, dan aturan-aturan yang digunakan untuk menentukan kebenaran suatu teori tertentu.
                 2.     Teori Newton
Dalam masalah gravitasi misalnya, yang diinterpretasikan sebagai tarikan yang merupakan bawaan di antara setiap pasang partikel, adalah sifat ghaib dalam arti yang sama dnegan “kecenderungan untuk jatuh” dari aliran scolastik sebelumnya. Oleh sebab itu, sementara standar-standar korpuskularisme tetap berlaku, pencarian penjelasan mekanis dari gravitasi merupakan salah satu masalah yang paling menantang bagi yang menerima Principia sebagai paradigma. Newton mencurahkan banyak perhatian kepadanya, demikian juga banyak penerusnya dari abad ke-18. Satu-satunya pilihan yang tampak adalah menolak teori Newton karena tidak berhasil menerangkan gravitasi, dan alternatif ini pun diterima secara luas. Namun, kedua padangan ini tidak ada yang menang. Karena tidak dapat mempraktekkan sains tanpa Principia  maupun memberlakukannya sesuai dengan standar standar kospuskular dari abad ke-17, para ilmuan lambat laun menerima pandangan bahwa gravitasi itu memang bawaan. Pada sekitar pertengahan abad ke-18 interpretasi itu telah diterima secara hampir universal, dan hasilnya adalah pengembalian yang tulus kepada standar skolastik. Tarikan dan tolakan bawaan bergabung dengan ukuran, bentuk, posisi, dan gerakan sebagai sifat-sifat primer materi yang secara fisikal tidak dapat direduksi.[24]
Padangan bahwa adanya anomali dalam teori gravitasi newton ternyata tidak semestinya mampu dibuktikan dengan paradigm baru, akhirnya proses revolusi sains yaitu mengikuti teori lama. Maka, sebenarnya tidak mudah membentuk sebuah konsep dan teori baru ketika ditemukan adanya penyimpangan dalam teori lama. Gambaran di atas menandakan revolusi memang membutuhkan kesiapan konsep, teori, dan hipotesis ilmiah yang jelas sehingga revolusi sains dapat diraih.
Contoh lain dari pergeseran paradigma dalam ilmu alam yaitu beberapa “kasus-kasus klasik” dari pergeseran paradigma Kuhn dalam ilmu pengetahuan di antaranya:
  1. Penerimaan teori Biogenesis, bahwa semua kehidupan berasal dari kehidupan, yang bertentangan dengan teori generasi spontan, yang dimulai pada abad ke-17 dan tidak lengkap hingga abad ke-19 dengan Pasteur.
  2. Penerimaan teori seleksi alam Charles Darwin digantikan Lamarckism sebagai mekanisme evolusi.
  3. Transisi antara pandangan dunia fisika Newton dan pandangan dunia relativistik Einstein.
Adapun contoh dalam bidang ilmu-ilmu sosial di antaranya tentang : The Keynesian Revolution yang biasanya dipandang sebagai pergeseran besar dalam makro-ekonomi. Menurut John Kenneth Galbraith mengatakan, hukum didominasi oleh pemikiran ekonomi sebelum Keynes selama lebih dari satu abad, dan peralihan ke Keynesianisme sangat sulit. Ekonom yang bertentangan dengan hukum, yang disimpulkan bahwa setengah pengangguran dan kurangnya investasi (ditambah dengan oversaving) adalah tidak mungkin, berisiko kehilangan karier mereka. Dalam magnum opusnya, Keynes mengutip salah seorang pendahulunya, JA Hobson, yang berulang-ulang menyangkal posisi di universitas untuk teori sesat. Monetarists berpendapat bahwa kebijakan fiskal tidak penting bagi stabilisasi ekonomi, berbeda dengan pandangan Keynes bahwa baik kebijakan fiskal dan moneter merupakan hal yang penting.[25]
Beberapa contoh tersebut memperlihatkan bagaimana proses pergeseran paradigma atau revolusi sains itu terjadi. Hal ini tidak bisa dielakkan dalam wacana ilmu pengetahuan. Teori yang mampu memberikan solusi terbaik dalam melihat setiap keganjalan akan menjadi teori yang diunggulkan.
Kesimpulan
Revolusi sains yang digagas oleh Thomas Kuhn lebih menekankan pada proses tranformasi paradigma yang lama menuju paradigma yang baru yang lebih mendatangkan sebuah alternatif. Proses-proses yang ia gambarkan dalam perkembangan sains merupakan siklus bagaimana sains normal ternyata mendominasi seluruh persoalan sains hingga saat ini, dan paradigma di sini dimainkan oleh kalangan ilmuwan yang mendominasi paradigma. Seperti ia sampaikan dalam pembahasan di atas, bahwa umumnya para ilmuwan tidak peduli dengan paradigma lain yang berkembang, yang diutamakan adalah bagaimana teori-teori dan konsep mampu diterapkan, jika ditemukan keganjalan mereka cenderung sulit menemukan pemecahan. Makanya disini perlunya sebuah solusi untuk menyelesaikannya dengan menerapkan revolusi sains.
Apa yang digagas oleh Thomas Kuhn memang secara konsep lebih menjanjikan, namun penyelesaiannya tetap masih terlihat adanya kesamaan dengan pola positivistik, dia menafikan kebenaran atau kepastian tertinggi di dalam semesta ini. Usaha epistemologis manusia dianggap tidak memiliki tujuan akhir dan tidak mungkin diraih secara objektif. Namun, gagasan dari Kuhn mendapat tempat yang baik dalam pengembangan seluruh disiplin ilmu pengetahuan kotemporer terutama dalam ilmu sosial-humaniora.
*Tulisan dimuat dari blog pribadi atas seizin penulis: pengemishikmah.wordpress.com
**Penulis adalah peneliti di Aceh Forum for the Study of Islamic Civilization (AFSIC)
DAFTAR PUSTAKA
Alexander Burung Thomas Kuhn , Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2004.
M. Adnan Haroon Rahman, Perbedaan Historiografi Sains Barat: antara Posistivisme dan Kuhnian, ISLAMIA: Vol. III, No. 2, Jakarta: Khairul Bayan, 2007.
Muhammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan,Yogyakarta: Belukar, 2008.
Thomas Kuhn, Peran Pradigma dalam Revolusi Sains, terj. dari The Structure of Scientific Revolutions, Bandung : CV. Remaja Karya, 1993.
Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolutions, Chicago : University of Chicago Press, 1962.
Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual: Merumuskan Parameter-Parameter Sains Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1998.
Zubaedi dkk, Filsafat Barat: dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Kuhn.,Yogyakarta, Ar-Ruzz Media, 2007.
Http://plato.stanford.edu/entries/thomas-kuhn/.
Http://en.wikipedia.org/wiki/The_Structure_of_Scientific_Revolutions, diakses pada 8 Juli 2011.
Http://en.wikipedia.org/wiki/Thomas_Kuhn#cite_note-0, diakses pada 8 Juni 2011.
 Http://id.wikipedia.org/wiki/revolusi, diakses pada 25 November 2011.

Posting Komentar

Whatsapp Button works on Mobile Device only

Start typing and press Enter to search