Oleh: Andriansyah
Ibarat sabda tanpa
nabi. Netral telah membius ke dalam pemikiran banyak orang di dunia saat ini
dan menjadi senjata ampuh sekaligus senjata makan tuan. Orang ketiga jika dimaknai dalam suatu hubungan akan terkesan
negatif, namun uniknya dengan imbuhan netral, hal ini berbalik 180 derajat. Muncul
pertanyaan, “kenapa harus netral?” berbagai jawaban tentu akan muncul. Namun
jika di telaah lebih dalam, alasan memilih netral dan tidak berpihak ini adalah
tidak adanya kepentingan terkait sesuatu dan demi keadilan. Dengan tidak adanya
kepentingan, maka akan berujung dari tidak adanya pengaruh nilai-nilai ideologi.
Nilai-nilai disini dimaknai sebagai “the
idea of right or wrong, good or bad, true or false”. Jadi tanpa pengaruh ideologi, akan dianggap
tidak memihak ideologi tertentu yang mempengaruhi konsep kebenaran atau
kesalahan. Seiring dengan makna demikian, ada juga sebagian orang yang memahami
netral identik dengan adil. Sehingga adil pun dimaknai sama rata tidak memihak
yang sebenarnya keliru. Hal seperti ini patut menjadi pertanyaan, apa mungkin
manusia bisa tidak berpihak? Mungkinkah manusia bisa terbebas dari pemahaman
akan nilai-nilai ideologinya?
Dalam istilah yang
lebih ilmiah netral bisa dimaknai objektif. Objektif bermakna menilai sesuatu
sesuai dengan objeknya yang sebenarnya tanpa di pengaruhi pandangan pribadi.
Berarti, suatu objek yang memberikan pengertian bahwa -misalnya- itu adalah
batu adalah batu itu sendiri. Bukan peneliti, karena batu itu adalah hakikatnya
sebagai batu. Dalam sudut pandang objektif, peneliti tidak terpengaruh oleh
nilai-nilai ideologinya dalam hasil penelitiannya alias netral. Benarkah
demikian?
Secara logika
sederhana, sangat tidak mungkin untuk netral dalam artian tidak berpihak.
Kenapa? Karena tidak berpihak itu sendiri adalah keberpihakan. Contohnya
begini, antara A dan B berselisih pilihan antara jalan kanan atau kiri.
Kemudian datanglah C yang menyakini dirinya adalah pihak netral dan mencoba
memberi solusi perselisihan A dan B, dengan bangganya C menyeru untuk memilih
jalan tengah saja dengan alasan dirinya tidak berpihak pada keduanya. Namun,
seruan C untuk memilih jalan tengah, apa bisa dikatakan tidak berpihak dan
bebas dari kepentingan? Apakah jalan tengah itu bukan “jalan”? apakah C bebas
dari kepentingan?
Benar C bebas dari kepentingan
A atau B, namun apakah C bebas dari kepentingan dirinya? Jika seperti itu yang
dimaksud netral, maka boleh-boleh saja dalam pengertiannya si C memang tidak
berpihak kepada A dan B, namun pada hakikatnya C berpihak kepada dirinya
sendiri dengan menunjukkan jalan lain yang juga kepentingannya dan meninggalkan
kepentingan A dan B. Jika sebelumnya A dan B berselisih antara memilih jalan
kanan atau kiri, C yang menunjukkan jalan tengah dengan dalih itu netral,
bukankah Jalan tengah itu juga jalan yang hanya beda nama dengan kiri dan kanan?
Berarti, pada dasarnya C juga berpihak tapi bukan kepada A (kanan) atau B
(kiri) melainkan ke C (tengah).
Memilih Untuk Berpihak
Tahun 2013 lalu,
ada sebuah kasus yang lumayan menggelitik. Tepatnya saat salah seorang wartawan
senior dari The Jakarta Post melempar
pernyataan ngawurnya. dikutip dari
Nahimungkar.com, Endi Bayuni sang wartawan The
Jakarta Pos mengatakan “Jurnalis harus mengabaikan imannya sendiri ketika
menulis. Namun sayangnya kesadaran tersebut baru tertanam dalam diri sebagian
kecil jurnalis saja, dan belum sampai pada level lembaga atau media”, jelasnya
saat peluncuran buku “Jurnalisme Keberagaman: Sebuah Panduan Peliputan”,
diterbitkan oleh Serikat Jurnalis Keberagaman (Sejuk), di Jakarta, Rabu,
(08/05/2013) seperti dikutip UCANews. Hal ini mendapat
tanggapan dari Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi dikatakan “Betul ia bisa netral dari
agama tapi tidak netral dari paham, orientasi dan kecenderungan sekular
dan liberal,“ ujarnya seperti dilansir
hidayatullah.com. Dr. Hamid juga menegaskan tragedi pelepasan Iman ini “Kalau iman dilepas dia tidak netral juga karena dia akan akan jadi
kafir dan cara pandangnya pun jadi Atheis.”
Ketika seseorang
berada diantara keburukan dan kebaikan, dalam sudut netralitas, dia tidak boleh
memihak salah satu antara keduanya. Itulah kemunafikan. Untuk membenarkan
kemunafikan ini, di rancanglah mantra-mantra
manis pembius keimanan seperti: “supaya adil jangan lah memihak sebelah pihak,
kan kasian pihak yang tidak ada yang bela”. Atau jika terkait ilmu sering
terdengar kalimat seperti ini “ilmu itu
kan netral, jangan terpengaruh dogma atau agama, nanti tidak objektif karena
sudah terpengaruh pemahaman lain”. Sekilas terlihat ilmiah dan sangat
menjanjikan kualitasnya. Seolah agar teruji bersih dari pengaruh pemahaman
lain, kita di giring untuk tidak berpihak yang sebenarnya juga berpihak kepada
ketidakberpihakan!
Allah mengingatkan kita tentang ungkapan yang
manis tapi menipu dalam surat Al-An’am ayat 112: “Setiap nabi Kami hadapkan dengan musuh-musuh yang jahat, dari golongan
manusia dan jin. Sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain
perkataan-perkataan manis yang penuh tipuan”.
Intinya sangat
simple, jika anda tidak memihak Tuhan, anda pasti akan memihak Setan, tidak
perlu berdalih netral agama. Jika bukan surga ya pasti neraka, tidak ada
pilihan dihari akhir masuk pertengahan antara surga atau neraka. Jadi
sebenarnya, manusia hanya akan lari dari satu pihak ke pihak yang lain. Istilah
netral hanyalah sebuah ilusi pembodohan pemikiran. Membuat kebenaran dan
kesalahan menjadi tidak jelas. Netral adalah salah satu metode efektif
penggiringan manusia beragama menjadi tidak beragama (netral agama). Sangatlah
rugi jika terdapat pilihan antara yang baik dan benar, tapi kita memilih netral
dengan rayuan tidak berpihak. Padahal sebenarnya logikanya sangat sederhana,
jika tidak baik ya buruk, begitupun sebaliknya. Jika hidup adalah pilihan,
pilihlah yang baik, tidak perlu netral memdiamkan yang baik. Berhati-hati
dengan dalih netral yang menyesatkan, jangan buang kesempatan untuk memilih
yang baik. Berpihaklah! Berpihaklah kepada kebenaran!
Posting Komentar